Judul buku : Altitude 3676
Takhta Mahameru
Penulis : Azzura
Dayana
ISBN :
978-602-8277-92-1
Penerbit : Indiva
Ketebalan : 416 hal
Ukuran : 14x20 cm
Harga buku : Rp 62.000
Apa yang ada di pikiran
seorang gadis sehingga rela menempuh rangkaian perjalanan panjang hanya
bermodal foto-foto yang diterimanya lewat e-mail?
Pertanyaan itulah yang menghantui pikiran saya sepanjang membaca buku ini.
Altitude 3676 Takhta Mahameru ini ditulis dengan apik oleh Azzura Dayana dengan
membawa pembaca ikut serta dalam petualangan Faras, seorang gadis lugu dari Ranu
Pane di kaki gunung Semeru. Faras yang seorang tamatan SMA nyatanya bukanlah
gadis desa biasa. Kegemarannya membaca buku membuatnya memiliki pemikiran yang
maju dan terbuka. Ia menjadi gadis cerdas yang gemar menghapalkan larik-larik
dari penyair favoritnya, Kahlil Gibran.
“Kahlil Gibran juga yang mengatakan ‘Berilah aku telinga maka aku akan
memberimu suara.’ Itulah mengapa tadi kubilang, harusnya aku mendapatkan
cerita, setelah kukatakan aku siap menyimak.” (Faras, hal. 93)
Gadis ini kemudian
ditakdirkan berjumpa dengan seorang pemuda bernama Raja Ikhsan. Berbeda dengan
Faras yang tipikal peramah dan supel, Ikhsan justru sebaliknya. Ia adalah
lelaki yang tumbuh dengan menabung dendam kesumat di dadanya. Terlahir dari
seorang wanita yang merupakan istri kedua, Ikhsan harus menerima kenyataan saat
ternyata ayahnya justru kembali ke pelukan istri pertamanya. Tidak hanya sampai
di situ, istri tua ayahnya itu terus meneror ibunya yang dianggap sebagai
perusak rumah tangga mereka. Tidak heran jika kemudian pemuda ini memiliki
sepuluh alasan untuk membunuh ayahnya sendiri, lelaki yang ia anggap menjadi
penyebab segala penderitaan yang ia alami. Juga tentu saja membalas teror
kepada istri ayahnya yang disinyalir telah menyebabkan ibunya bunuh diri.
Tidak cukup dengan dua
tokoh yang bersebrangan kepribadian itu, penulis juga menampilkan Mareta,
seorang gadis kaya yang hidup dengan segala modernitasnya. Pertemuannya yang
tidak terduga di Borobudur dengan Faras justru mengantarkan keduanya menjadi
rekan seperjalanan hingga tiba di Bira, sebuah daerah di Sulawesi Selatan.
Mareta, cewek metropolitan itu tentu
nampak bagai langit dan bumi dengan Faras yang berjilbab rapi dengan tutur kata
yang terjaga.
Ketiga tokoh ini terlibat
dalam rangkaian cerita yang disajikan dengan alur maju-mundur dan sudut pandang
Faras, Mareta, dan Ikhsan secara bergantian. Tiga kepribadian berbeda yang
ternyata terhubung pada satu benang merah. Tiga sudut pandang ini memberikan
ruang kepada pembaca untuk lebih menyeksamai tiap karakter tokoh-tokoh tersebut,
serta memandang setiap kejadian di dalam cerita lewat angel yang berbeda-beda. Hal ini membuat pembaca memiliki
pengetahuan yang utuh tentang berbagai konflik di dalam novel ini.
Perjumpaan antara Ikhsan
dan Faras yang hanya terjadi tiga kali saat Ikhsan hendak mendaki Semeru
rupanya menjadi asal muasal dari cerita ini. Selanjutnya, hubungan yang aneh
–kadang manis, namun bisa berubah menjadi dingin, antara Faras dan Ikhsan
kemudian terus berlanjut lewat cara yang tidak kalah anehnya; e-mail satu arah dari Ikhsan yang berisi
foto-foto tempat yang ia dikunjungi selepas perpisahannya dengan Faras di Ranu
Pane. Atas dasar itulah, Faras menelusuri jejak Ikhsan hingga pergi ke Borobudur,
menyebrang ke Pulau Sulawesi menuju Bira di Bulukumba, lalu kembali lagi ke
kampung halamannya di kaki gunung Semeru.
Satu per satu kejadian yang
melatarbelakangi cerita ini terkuak di setiap lembaran bukunya. Pembaca pun
dikocok emosinya lewat ketegangan demi ketegangan saat mengikuti hidup Ikhsan
yang keras dan penuh dengan rencana sadis. Pada satu titik mungkin pembaca pun
akan ikut kebingungan pada kepribadian Ikhsan yang tiba-tiba berubah menjadi
begitu peduli dan bijaksana pada sebuah keluarga di Bira yang menjadi
sedemikian suram ketika kehilangan dua anak mereka. Anak gadis yang dibawa
pergi oleh kekasihnya karena tidak direstui oleh keluarganya, dan yang lelaki
mati muda saat mengejar pemuda yang membawa lari adik perempuannya itu. Tragedi
itu berkaitan dengan aturan adat guna menjaga kehormatan keluarga mereka. Jika
pembaca tidak jeli mengikuti ‘penjelasan dari penulis’ lewat flashback kejadian sebelum peristiwa
tersebut, mungkin pembaca akan menilai adanya inkonsistensi dalam penggarapan
karakter Ikhsan. Mengapa seolah-olah
dengan mudahnya warna hati pemuda itu menjadi berubah?
Berbagai ketegangan dari
kehidupan Ikhsan yang begitu semrawut akan tercairkan saat mengikuti tiap
deskripsi setting yang dipaparkan
dengan detail oleh sang penulis. Dalam hal ini, terasa betul betapa penulis
sangat menguasai latar tempat yang ia gunakan. Keindahan Borobudur, eksotisnya
Bira, kebudayaan dan sejarah suku Bugis yang gagah berani, bahkan tentang adat
yang masih dipegang kokoh oleh sebagian masyarakatnya, serta keelokan
pemandangan alam yang disuguhkan dalam pendakian menuju Puncak Mahameru. Penulis
yang juga seorang backpacker dan
gemar panjat gunung ini, juga menuturkan dengan apik tentang berbagai tetek
bengek pendakian Semeru yang seru dan menegangkan. Selain itu, di beberapa
bagian buku ini juga mengutip petikan syair nasyid dan lagu, serta sajak-sajak
yang memesona dan menyimpan makna mendalam.
“Menjadi air harus menjadi ricik. Sampai-sampai hujan yang kesekian
kerap juga menemani perjalanan cinta kita. Hujan di langit itu. Hujan di
matamu” Sajak Kecil tentang Cinta, Sapardi Djoko Damono. (Faras, hal. 113).
Layaknya ciri khas buku
terbitan Indiva yang lain, buku ini juga tidak melulu hanya berupa rangkaian
cerita tanpa makna. Idealisme dan nilai-nilai religius dan spiritual juga
terasa kental di dalamnya.
“Kata apa lagi yang sanggup kami ungkapkan untuk memuji Allah,” tambah
Faras dalam gumamnya. “Untuk semua kehebatan penciptaan ini. Padahal Mahameru
baru satu bagian kecil saja dari seluruh ciptaanNya di semesta raya.” (Faras, hal 413)
Bahkan, hubungan antara
Faras dan Ikhsan juga tidak dieksplorasi dari sudut romantika belaka, namun
lebih kepada tanggung jawab antar sesama muslim untuk saling menasihatkan
kepada kebaikan. Namun, hal ini bisa saja justru menjadi sebuah bumerang, saat
pembaca akhirnya bertanya-tanya, bagaimana
sebenarnya perasaan antara Faras dan Ikhsan?
Ya, tak ada gading yang tak
retak. Setidaknya, saya menemukan sebuah kejanggalan dalam novel bercover
pemandangan ‘negeri awan’ dari atas gunung ini.
“Iya, saking sayangnya aku padanya, sampai aku ingin kubunuh suaminya.”
(Ikhsan, hal.115). Kalimat ini tentu lebih enak dibaca jika kata ‘aku’ yang
kedua dihilangkan. Semoga ini hanya kesalahan pengetikan belaka.
Lalu, apa sebenarnya
hubungan Mareta dengan Ikhsan? Dan mengapa Faras tidak kunjung menemukan Ikhsan
meski telah mengikuti petunjuk foto dalam e-mail
yang ia terima? Apa yang hendak disampaikan gadis itu hingga rela menempuh
perjalanan yang begitu jauh? Dan sanggupkah Ikhsan menanggalkan semua kebencian
dan dendam yang ia pelihara?
Begitu jauh para tokoh ini
melanglang buana. Namun, layaknya kehidupan, terkadang jawabannya justru
ditemukan pada titik mula. Maka semua pertanyaan itu pun terkuak di Ranu Pane
dan terjawab dengan tuntas di ketinggian 3676 meter di atas permukaan laut, di
Puncak Mahameru.
Lewat Altitude 3676 Takhta
Mahameru ini, Azzura Dayana berhasil mengusung nilai-nilai kehidupan yang
dipaparkan dengan begitu halus dan cerdas, plus dengan gaya bertutur yang indah
dan tidak menggurui. Karena itulah, novel ini tentu sangat layak untuk dibaca
dan direnungi. Selamat!