Sabtu, 31 Maret 2012

Blogshop N5M: Penulis pun Harus Bersemangat Man Jadda Wajada!

Akhirnya tiba juga hari yang ditunggu-tunggu. Pagi ini matahari bersinar cukup cerah. Lengkap dengan gumpalan awan yang sesekali berarak mengikuti arah angin. Hari terakhir di bulan Maret ini adalah jadwal event Blogshop Kompasiana yang dirangkaikan dengan roadshow Negeri Lima Menara. Tapi, pergulatan batin saya dimulai ketika ibu mulai menanyakan rencana saya hari ini. Setelah mengatakan bahwa hari ini saya akan ada kegiatan, mimik wajah ibu berubah.

“Tiap hari libur, selalu saja ada kegiatan! Sekali-sekali tinggallah di rumah…” ujar Ibu tanpa menatap wajah saya.

Seketika, semangat yang sudah meletup sejak sukses register di page event ini, memudar seketika. Apalagi mengingat bahwa besok pun saya ada kegiatan yang cukup penting dan tidak bisa ditinggalkan. Maka, pilihan untuk batal mengikuti acara ini pun mulai muncul di benak saya. Namun, saya langsung sadar; jarang-jarang di Makassar ada acara seputar kepenulisan yang dihadiri oleh seorang penulis nasional, terkenal pula! Rasa-rasanya, saya akan menyesal jika melewatkan kesempatan yang terbatas ini.

Maka, setelah sempat carmuk (cari muka, red) pada ibu, meski harus agak memhabiskan waktu dan mengacaukan schedule yang sudah saya ancang-ancang dari semalam, saya pun akhirnya memberanikan diri untuk melakukan lobi.

“Hari ini, ada penulis terkenal yang mau datang lho…” ucap saya pada ibu, lengkap dengan puppy-eyes.
 
Ibu menatap saya, ia hapal betul dengan tingkah macam itu. Dan ibu tahu bahwa minat saya di dunia kepenulisan memang sudah cukup merasuk jiwa. Maka, meski tidak berucap apa-apa, saya mengerti bahwa tatapan mata itu adalah pertanda dari sebuah restu untuk bisa ikut blogshop kali ini. Yay!
***
Terinspirasi dari tayangan televisi yang masih hot membahas perihal hasil sidang harga BBM semalam, maka sebelum menuju kamar mandi, saya mencoba untuk nangkring di depan laptop dulu. Kepala saya sudah dipenuhi dengan kata-kata yang ingin saya rangkai menjadi tulisan setelah melihat berita-berita di TV tadi. Akhirnya, tulisan berjudul “Surat kepada Ibu Pertiwi” pun tuntas dalam seperempat jam. Setelah posting ke blog, fb, multiply, dan akun kompasiana, saya lalu beranjak untuk bergegas bersiap. ‘Lobi-lobi politik’ dengan Ibu tadi memang memakan cukup banyak waktu, dan saya telah positif bakal terlambat tiba di ‘TKP’. Nah, sebelum benar-benar meninggalkan rumah, saya sempatkan untuk menengok kembali akun Kompasiana; mengecek bagaimana perkembangan tulisan yang baru saya posting. Alhamdulillah, ternyata masuk kolom highlight. Padahal, mungkin seperti beberapa kawan lainnya, akun ini awalnya saya buat ‘cuma’ untuk ikut acara blogshop. Hehehe…

Sekitar setengah jam, saya pun tiba di Gedung BI. Casio yang melingkar di tangan saya menginformasikan bahwa saya sudah telat cukup parah, sekitar satu jam lebih! Hmm..,setidaknya masih lebih baik daripada tidak datang sama sekali, khan? Tapi, imbasnya, saya harus ikhlas untuk dapat posisi duduk di belakang (yang lumayan bikin disorientasi, hehehe…) dan tidak lagi kebagian souvenir berupa kaos kompasiana yang dengan bangga ditenteng oleh para peserta lain. Heu…

Saya memasuki ruangan acara. Sebuah ruangan yang nyaman dengan dominasi warna coklat muda di dalamnya. Terdapat hiasan perahu pinisi kebanggaan suku bugis dan lukisan besar di beberapa sudut. Meja-meja bundar yang dikelilingi oleh para peserta nampak tersebar di ruangan itu. Lengkap pula dengan colokan listrik yang mempermudah peserta yang membawa serta gadgetnya, sesekali ada saja peserta yang Nampak tersandung colokan-colokan itu.

Acara hari ini disponsori oleh iB Perbankan Syari’ah. iB adalah singkatan dari Islamic-Banking, atau yang lebih kita kenal dengan istilah Bank yang berbasis syari’ah. Saat ini, antusias masyarakat kepada bank-bank syariah memang terlihat cukup baik. Meski, produk yang ditawarkan sebenarnya hampir mirip dengan produk bank konvensional, namun sistem syariah yang berada di dalamnya insyaAllah akan memberi ketenangan tersendiri kepada nasabah. Mungkin, itu yah yang membuat mereka betah! Saya bersyukur, bahwa iB Perbankan Syariah ini berkenan untuk mensponsori program-program acara yang penuh manfaat dan menarik seperti blogshop Kompasiana ini! ^_^

Bernarasi bersama Kang Pepi
1333211674966923041
Kang Pepi sharing tentang narasi

Pada saat tiba di ruangan, ternyata acara sudah memasuki sesi yang ketiga. Pada bagian ini yang menjadi pemateri adalah Kang Pepi Nugraha. Pada awal materi, beliau menceritakan tentang kedekatannya dengan Kota Makassar. Selanjutnya, dengan fasih Kang Pepi menyebutkan nama-nama penyanyi lokal Makassar dan banyak menyinggung tentang beberapa tempat dan budaya yang ada di Makassar. Oh iya, Kang Pepi juga memberikan tips untuk memecahkan kebuntuan menulis pada para peserta!

“Menulislah seperti bagaimana kita bercakap, bukan seperti bagaimana orang lain menulis”, pungkas pria asal Jawa Barat ini.

Ya, sudah seharusnya proses menulis pun kita sederhanakan. Sebab, kita menulis bukan untuk diri sendiri, tapi untuk dimengerti oleh orang lain. Maka, tidak usah memutar otak untuk memikirkan hal-hal yang ribet jika pada akhirnya pembaca tidak menangkap apapun dari yang kita tulis. Sederhanakan saja, lalu temukan proses kreatif dan ciri khas tulisan kita sendiri! Kang Pepi juga menekankan untuk selalu melibatkan emosi dalam menulis. Dalam hal ini, bukan berarti menulis itu harus dikerjakan sambil marah-marah, yah… Tapi, perasaan apapun yang kita rasakan, sebisa mungkin juga turut terwakilkan pada tulisan kita, sehingga akan terciptalah tulisan yang tidak membosankan. Tulisan yang berisi suara hati juga bisa mencerminkan kepribadian kita saat menulis, lho!

Materi Kang Pepi sendiri sebenarnya berfokus tentang narasi. Lewat slide-slide yang ditampilkan, jurnalis yang dalam kesempatan tersebut mengenakan jaket yang matching dengan warna ruangan itu, banyak memaparkan tentang teori-teori seputar tulisan jenis narasi ini. Mulai dari ciri-cirinya, tujuannya, kriterianya, juga bagian-bagian yang harus ada dalam sebuat tulisan yang naratif. Beliau juga memberikan contoh seputar komponen-komponen dalam sebuah narasi. Tidak ketinggalan pula tentang pembahasan mengenai sudut pandang dalam sebuah tulisan.

Sudut pandang orang pertama yang menggunakan kata sejenis ‘aku’, dan sudut pandang orang ketiga yang menggunakan kata ganti orang ketiga pula. Para peserta Blogshop Kompasiana hari itu kebanyakan lebih sering menggunakan sudut pandang yang pertama. Meski, menurut Kang Pepi, sebenarnya lebih aman menggunakan sudut pandang orang ketiga yang memang lebih sering dipakai dalam naskah narasi. Selain itu, sudut pandang ini juga cukup netral dan terbebas dari ‘jebakan narsis’. Tapi bagi saya, selama kita nyaman dan bisa membuat tulisan dengan perasaan hati yang enak, rasanya sudut pandang apa saja akan menjadi lumrah. Ini menurut saya yah…

Kopdar dan Hunting Posisi Strategis
Di masa istirahat selepas menyantap hidangan yang disediakan oleh panitia dan menunaikan shalat Dhuhur, saya kembali ke ruangan acara yang nampak masih ramai dengan peserta yang lalu lalang. Saya mengarahkan pandangan ke arah panggung dan langsung mendapati ‘gerombolan’ Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) tempat saya juga bergabung dalam grupnya di Facebook. Meski masih tergolong ‘calon ibu’ *halah* saya senang sekali bisa bergabung dengan komunitas ini. Selain karena lebih nyaman karena membernya perempuan semua, banyak pula info-info seputar kepenulisan yang saya dapatkan di sana. Termasuk info blogshop kali ini. Maka saya pun menyempatkan diri bergabung dengan mereka, meski terasa agak canggung, sebab ini adalah kali pertama saya muncul dalam wujud nyata. Hehehe…

Selanjutnya, saya pun membidik seorang junior yang nampak pewe (posisi weenak, red) di kursinya. Tempatnya lumayan strategis untuk menerima materi dan mengambil gambar. Maka setelah lobi-lobi politik lagi, ternyata di sana masih ada satu kursi kosong yang bisa saya tempati. Berhasil! Saya pun memilih hijrah dari posisi awal ke tempat baru yang lebih baik.

1333212089742375357
Kuisnya seru, pesertanya kreatif; Asyik!

Ahmad Fuadi: Membela Impian dengan Menulis
Setelah menunggu sambil ngobrol dengan teman-teman baru di meja tersebut dan ketawa-ketiwi menyaksikan kuis-kuis yang lumayan unik, akhirnya yang dinantikan datang juga! Seorang pria berkacamata dengan kemeja biru kotak-kotaknya. Sosok ini sebelumnya hanya dapat saya saksikan di sampul belakang dalam buku yang ia tulis. Ya, dialah Ahmad Fuadi, penulis Negeri Lima Menara dan Ranah Tiga Warna!

13332122481824702998
Akhirnya datang juga! ^_^

Senang sekali rasanya bisa menyaksikan beliau secara langsung, apalagi ditambah dengan materi tentang kepenulisan darinya. Di awal, Bang Ahmad Fuadi memutarkan video tentang perjalanan buku Negeri Lima Menara dan backpacking beliau menjelajahi berbagai macam kota di dunia, plus dengan penghargaan-penghargaan yang didapatkan dari hasil karyanya. Peserta juga disuguhkan dengan proses awal hingga akhirnya novel pertamanya berhasil difilmkan, dan jalannya syuting film Negeri Lima Menara mulai dari Pesantren Gontor hingga ke Inggris.

Bang Fuadi memberikan motivasi tentang pentingnya seseorang menulis, juga bahwa sebagai penulis, kita harus paham mengapa seseorang ingin membaca. Maka alasan semisal; untuk mengetahui, untuk menghibur, dan untuk melepaskan diri dari kepenatan kehidupan nyata, harus bisa di-cover oleh seorang penulis agar dapat membuat tulisan yang ingin dibaca oleh orang lain.

Sebutir peluru mungkin bisa menembus sebuah kepala, namun satu kata bisa menembus ratusan bahkan jutaan kepala dalam satu waktu bersamaan” ucap Bang Fuadi untuk semakin meyakinkan para peserta agar lebih bergiat dalam menulis.
 
Nah, rupanya menulis juga bisa membuat kita awet muda dan akan terus dikenang, lho! Sebab, setiap jiwa akan merasakan mati. Setiap manusia memiliki limitnya masing-masing. Tapi, jika kita meninggalkan kenangan berupa tulisan, tulisan itu akan terus hidup, meski kita telah tiada. Bang Fuadi menyebut sebuah nama; Ibnu Rushd, seorang filsuf Islam di abad kedua belas itu. Maka sebenarnya, kita punya cukup banyak nama semisal: Imam Bukhari, Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah, HAMKA, Rendra, dan masih banyak nama lainnya, yang mungkin kini jasadnya telah terkubur, namun kita masih dapat merasakan keberadaan mereka lewat karya-karya mereka. Lewat tulisan-tulisan mereka! Maka ya, diri kita boleh saja tua, boleh saja mati. Tapi, tidak dengan tulisan kita! Maka semoga tulisan yang tetap ‘kekal’ itu bisa menjadi jalan bagi kita untuk menjadi manusia terbaik; manusia yang paling banyak manfaatnya!

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat” demikian sabda Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam dalam riwayat Thabrani dan Daruquthni.

Bang Fuadi bercerita, bahwa begitu banyak mimpinya yang menjadi nyata lewat tulisan. Tentang bagaimana ia menyambung hidup lewat honor menulis. Dan pada akhirnya, ia yakin bahwa inilah salah satu jalan untuk memberikan manfaat bagi banyak orang. Terbukti, Bang!

Proses Kreatif ala Bang Fuadi
13332123871550929827
Setiap orang menulis dengan caranya masing-masing. Hargai caramu sendiri!

Setidaknya ada empat poin besar yang dipaparkan oleh Bang Fuadi seputar proses menulis yang beliau jalankan. Keempatnya terangkum dalam empat buah kata tanya:
 
Why? Pertanyaan ini akan menjawab niat dan tujuan kita dalam menulis. Untuk Bang Fuadi sendiri, hadits Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam di atas yang beliau dengar dari ustadz di Gontor, menjadi lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan ini. Maka, niat yang lurus dalam menulis akan menjadi suntikan stamina yang tidak akan pernah putus. Memberikan semangat pada saat mulai malas, dan menjadikan kita selalu berupaya mencari jalan untuk tetap konsisten dalam menulis.

What? Mengenali, peduli, senang, dan familiar dengan tema yang akan kita tulis bisa menjadi obat kuat dalam tulisan. Tulisan akan muncul dari dalam hati, dan semoga pun akan sampai ke hati!

How? Mengetahui sebanyak-banyaknya informasi tentang apa yang akan kita tulis, bukan hanya akan membantu untuk melancarkan arus ide, tapi juga membuat tulisan menjadi lebih dalam. Referensi bisa didapatkan dari buku lain dan riset-riset, termasuk juga dari kamus!

“Kapan terakhir kali baca kamus?” pertanyaan Bang Fuadi itu menghentak kesadaran saya. Hmm…, penulis yang baik memang seharusnya rajin membuka kamus. Sebab, kamus akan menambah perbendaharaan kata dan akan memberikan variasi pada setiap tulisan. Ini akan membuat tulisan menjadi lebih baik, sebab tidak banyak pengulangan kata di dalamnya.

Bang Fuadi sendiri, dalam proses menulis Negeri Lima Menara, kembali membongkar tumpukan diari lama, surat-suratnya kepada ibunda, sampai buku tulis yang digunakan saat hari pertama di Gontor dulu. Mau tahu catatan apa yang pertama dituliskannya? Yup, mantera sakti: man jadda wajada!

When? Tidak ada waktu, sibuk kuliah atau kerja, ribet dengan pekerjaan ini dan itu, dan sederet alasan lainnya terkadang menjadi salah satu sebab terjadinya kebuntuan dalam menulis. Maka kapankah waktu terbaik untuk menulis? Ya, saat ini! Seseorang yang memang ingin serius di bidang kepenulisan, sudah seharusnya melowongkan waktu untuk kegiatan menulis, bukan hanya sekadar memberikan porsi ‘waktu sisa’ untuk membuat karya. Konsistensi dalam jadwal menulis tersebut juga perlu dilatih kedisiplinannya. Tidak harus menulis dalam jumlah banyak, yang penting kontinyu. Dalam bagian ini pula, Bang Fuadi menggulirkan sebuah pepatah baru: Sedikit semi sedikit, lama-lama menjadi buku!

Kesemua proses menulis ini, jika dijalankan dengan disiplin dan konsisten, insyaAllah akan berbuah sebuah tulisan yang baik. Bang Fuadi menasihatkan untuk tidak langsung berfokus agar tulisan bisa laku. Sebab, banyak tulisan yang laku, meski belum tentu baik. Namun, sebuah tulisan yang baik, insyaAllah akan laku. Nah, bukankah hanya tulisan yang baik yang bisa mendatangkan kemanfaatan?

Oh iya, ada yang menarik dari sesi tanya jawab. Saat seorang peserta dari Ambon dipersilakan untuk mengambil alih mic. Beliau bertutur tentang anaknya yang baru saja lahir hari itu (konon berencana diberi nama Ahmad Fuadi pula!), juga tentang harapannya bahwa kelak akan ada penerus Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, dan penulis hebat lainnya yang bisa lahir dari tanah Makassar. Saya mendengarkan hal itu sambil terus mengaminkan dalam hati, semoga budaya literasi di kampung halaman saya ini bisa terus berkembang. Aamiin…

Pada akhirnya, mungkin sederet materi yang diberikan dalam blogshop ini bisa dengan mudah kita dapatkan di buku ataupun artikel di internet. Tapi, bagi saya pribadi, yang menjadi inti dari acara ini adalah tentang semangat yang tercipta setelah pulang dari gedung BI tadi. Tentang sindrom positif yang akan merasuk kepada setiap peserta untuk lebih semangat lagi dalam menulis. Kita telah menyaksikan begitu banyak tokoh yang terkenal dan menebar manfaat lewat tulisan-tulisannya yang berkualitas. Tapi, kita pun harus sadar, bahwa itu semua mereka dapatkan tidak dengan cara yang instan. Pasti ada kerja keras yang besar di dalamnya. Maka untuk menjadi penulis yang sukses pun, rasanya tidak salah jika kita meminjam mantera dari para shahibul menara: Man Jadda Wajada!

Minggu, 11 Maret 2012

~Rasa Bahasa~


SisiRajin: Din, setelah nulis ini, langsung lanjut kerja tugas makalahmu yaah../ SisiSantai: Okeh, okeh.. Hehehe...

-----------------------------------------------------------------------------------------

Teman-teman, kali ini saya ingin share tentang masalah rasa bahasa. Rasa bahasa dalam definisi saya adalah masalah bagaimana mengungkapkan hal-hal tertentu lewat bahasa tulisan. Rasa bahasa bukan saja terkait dengan diksi (pemilihan kata), tapi -setidaknya bagi saya, berhubungan erat dengan pemilihan tanda baca, pemilihan huruf kapital, bahkan masalah italic, bold, atau underline-nya sebuah teks.

Saya terlahir dan tertakdir untuk hidup akrab dengan dunia literer. Kamar pertama saya adalah bekas perpustaskaan bapak yang ditambahkan tempat tidur kecil dan meja belajar bekas. Benda yang rutin dibelikan kepada saya bersaudara adalah buku cerita tiap bulan setelah bapak gajian. Dan dimasa kecil, benda berharga bagi saya adalah lembaran kertas HVS yang bisa saya gunakan untuk menulis cerita atau membuat komik. Belakangan, baru saya ketahui, bahwa pertemuan kedua orang tua saya pun terajut secara apik lewat lembar-lembar surat yang dilayangkan bapak kepada ibu pada masa pedekate mereka. (Stt..jangan bilang siapa-siapa yaah.. hehehe...)

Maka, ya, saya telah terbiasa dengan kata-kata sejak lama. Maka, saya pun tumbuh dengan tingkat sensitivitas 'rasa bahasa' yang cukup 'parah'. Untungnya, hal itu kemudian bisa saya kendalikan dengan memahami bahwa tidak semua orang memiliki rasa bahasa yang sama. Tapi, saya kadang tetap kecolongan. Misalnya saja, kejadian saat masa KKN ini:

Seorang teman seposko telah duluan melakukan kegiatan pendataan hingga titik yang cukup jauh. Saya yang waktu itu masih stay di posko kemudian menerima smsnya. Saya pun mengabarkan bahwa personel posko kami sebagian besar masih pada santai dan belum beranjak untuk turut mendata. Nah, kawan ini kemudian mengeluh, lewat bahasa sms, beliau menuliskan kekecewaan dan protes kepada saya yang dia anggap kurang bisa mengkoordinasi teman-teman, setidaknya itu yang bisa saya tangkap dari bahasa tulisannya. Akibatnya, saya kemudian memaksakan untuk segera mendata, meski dalam situasi yang sebenarnya kurang begitu pas. Setelah kembali ke posko, saya baru sadar, ternyata kawan tadi tidak sedang benar-benar 'marah'. Dia malah mengaku hanya bercanda dan tidak sejatinya mengeluh lewat sms tadi. Namun, rasa bahasa yang saya tangkap berbeda, dan saya salah.

Sensitivitas pada rasa bahasa ini membuat saya kemudian menjadi kurang 'nyaman' dengan deretan kata-kata yang diakhiri dengan tanda seru; bagi saya, itu bermakna teguran keras, kemarahan, dan bentakan. Saya pun terganggu dengan penggunaan tanda tanya yang lebih dari tiga, bagi saya itu berlebihan. Apalagi, dengan penggunaan koma yang berderet-deret, bagi saya itu adalah pemborosan tanpa makna. Pun termasuk dengan deretan titik-titik panjang yang bagi saya tidak ada artinya. Dan huruf kapital pada seluruh kata adalah lambang teriakan keras, apalagi kalau diakhiri dengan tanda seru juga!

Maka kemunculan komunitas 4L4Y yang heboh dengan kombinasi huruf kecil dan kapital yang berantakan, belum lagi dengan sisipan angka dan simbol-simbol yang menggantikan huruf, JELAS membuat saya sangat tersiksa. Grrr....

Tapi kemudian saya sadar, bahwa memang tidak semua orang sama. Tidak semua orang 'tidak nyantai' seperti saya yang mungkin agak heboh dalam menanggapi hal ini. Beberapa orang terbiasa menggunakan tanda seru meski ia tidak sedang ingin menyeru. Yang lainnya memang hobi menggunakan deretan panjang koma dan tidak mempermasalahkannya. Dan anak-anak alay itu, saya akhirnya mengerti, bahwa dibutuhkan 'kerja ekstra' untuk dapat membuat deretan kata sebagaimana ciri khas mereka menuliskannya. Iy44 gaKk sYiicH... *kalimat terakhir membutuhkan waktu lama untuk membuatnya. Yah, menjadi alay ternyata butuh pengorbanan :p

Maka pada akhirnya, rasa bahasa kembali kepada individu masing-masing. Dan kita yang hidup berdampingan dengan manusia lain, dengan kebutuhan komunikasi lewat tulisan yang semakin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi, agaknya memang memerlukan toleransi ekstra terhadap manusia lain, agar dapat tetap dapat saling memahami, dan menerima pesan dengan lebih baik, tanpa ada kesalahan persepsi yang berarti. Semoga yah...

Senin, 20 Februari 2012

Telah Terbit, Jeda Sejenak!


ISBN: 978-602-225-238-2

Terbit: Januari 2012

Tebal: 164 halaman

Harga: Rp. 37.000,00

Deskripsi:

Jeda Sejenak adalah kumpulan tulisan renungan tentang bagaimana melewati hidup dengan lebih berarti. Terkadang, karena derap waktu yang begitu cepat, tanpa sadar kita melewati berbagai macam peristiwa yang sejatinya sarat akan makna. Tulisan ini hadir sebagai ajakan untuk berhenti sesaat dari berbagai aktifitas kita, untuk tafakur dan merenungi tentang nikmat Allah yang begitu banyak, tentang eksistensi kita sebagai khalifah di muka bumi, juga tentang kematian yang pasti datangnya, namun begitu sering kita lupa. Teori-teori yang melekat di antara tiap untai kalimatnya dan pada bait-bait sajaknya mungkin telah kita hafalkan di luar kepala. Namun, agaknya kita selalu butuh waktu untuk dapat memahaminya, bukan hanya dengan akal, tapi juga dengan hati. Agar lebih mudah mengejawantahkannya dalam bentuk amal nyata. Dalam derap langkah penuh kesyukuran, kepada cinta kita untuk kebenaran, dan dalam perjalanan pulang ke negeri akhirat, seharusnya kita selalu mengambil rehat untuk jeda sejenak.


Cara Mendapatkan Buku JEDA SEJENAK

1. Belanja Online melalui Situs Leutika Prio
- Bagi yang tinggal di daerah Yogyakarta dan sekitarnya *hemat ongkos kirim
- Register dulu di http://​www.leutikaprio.com/daftar
- Klik beli di sini lalu akan tampil total biaya yang harus dikeluarkan
- Masukkan verifikasi kode kemudian klik check out
- Selanjutnya cek email, transfer uang ke bank dan lakukan konfirmasi pembayaran
- Pesanan buku insyaAllah akan diantarkan ke alamatmu :D

2. Belanja Online melalui Penulisnya Langsung
- Khusus untuk daerah Makassar dan sekitarnya (untuk wilayah luar Makassar juga boleh, tapi jangan lupa ongkinya yah.. :p, dananya bisa dikirim via rekening)
- Kirim nama dan alamat lengkap melalui email ke diena_rifaah@yahoo.com atau via inbox FB: Diena Rifaah, no rekening akan diinfokan ke kamu setelah konfirmasi pembelian ini (untuk luar Makassar).
- Buku akan diantarkan kepada kamu :D
Selamat membaca, semoga bermanfaat :D :D :D

Minggu, 19 Februari 2012

[DibalikLembar] Jeda Sejenak!

Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan (Salim. A. Fillah)

Akhirnya penantian itu berakhir juga. Setelah tiga pekan lamanya menanti datangnya sang buku perdana, hari ini dia muncul dengan ‘kemunculan-hening’. Ya, saat saya dengan santainya berjalan menuju pintu keluar, hendak ke kampus, adik saya muncul dan berkata dengan gerak mulut tanpa suara; “Bukumu sudah datang…”. Ya, berbeda betul dengan grasa-grusu yang begitu anarkis yang sempat terjadi beberapa kali saat saya sayup-sayup mendengar suara motor berhenti di depan rumah yang saya pikir adalah pak pos yang datang membawa pesanan Jeda Sejenak dari penerbitnya, Leutikaprio di Jogja.

Baiklah.

Berbicara tentang jejak pena, maka Jeda Sejenak sebenarnya telah dimulai penggarapannya sejak bertahun lalu. Tulisan paling ‘tua’ saya kira adalah puisi ‘Bukan Langit yang Biru’, yang kalau tidak salah saya buat di masa SMA, dalam perjalanan pulang sekolah di atas becak. Sedangkan tulisan paling bungsu adalah esai ‘Nanti akan Ada Waktunya’ yang saya buat di bulan September tahun lalu. Kesemua tulisan itu awalnya bukan dimaksudkan untuk menjadi sebuah buku. Mereka (tulisan-tulisan itu) adalah penghuni blog yang saya buat sejak kelas dua SMA lampau. Namun, atas saran beberapa orang kawan, saya akhirnya memutuskan untuk menggarap ulang mereka, dan menjadikannya sebagai sebuah kesatuan buku berjudul Jeda Sejenak.

Buku Jeda Sejenak ini saya susun bersamaan dengan masa penyelesaian skripsi. Sebenarnya, proyek ini menjadi semacam refreshing saya ditengah carut marut skripsi dan birokrasi dalam menuntaskan masa kuliah S1. Awalnya, saya berencana ingin mengerjakannya secara fokus. Saya pikir, memilah dan memilih dari sekian banyak tulisan untuk dipilih yang (saya anggap) terbaik dan layak untuk dibukukan, kemudian mengeditnya (dan menemukan betapa banyak kesalahan menulis yang saya lakukan dimasa lalu), lalu mengelompokkannya menjadi tiga bagian besar, kemudian menyusunnya menjadi satu rangkaian yang enak dibaca, mengirim ke penerbit, merancang deskripsi cover,mencari orang-orang yang sudi untuk memberikan endorsement, dan menuntaskan administrasi, adalah sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa saya lakukan sambil nyambi-nyambi dengan pekerjaan lain. Apalagi sambil mengerjakan penelitian dan skripsi!

Saya yang (sejujurnya) agak ogah-ogahan mengerjakan skripsi pun akhirnya membuat sebuah keputusan untuk meletakkan diri saya pada posisi terjepit. Ya, saya harus segera menerbitkan buku ini. Tapi, saya juga harus mengerjar target selesai kuliah. Makanya, saya kemudian menargetkan; baru boleh menyentuh proyek buku jika skripsi telah rampung dan sidang istbat, eh..maksudnya ujian sidang saya kelar. Hal ini (ceritanya) untuk memotivasi saya agar bisa cepat selesai kuliah dan juga cepat menyelesaikan proyek buku ini.

Namun ternyata, saya tidak bisa menunggu.

Ya, saya terus-menerus melirik proyek buku ini ditengah pantulan skripsi. Hingga kemudian saya memutuskan untuk mengeksekusi keduanya dalam waktu bersamaan. Maka jadilah, penyusunan buku ini saya jadikan refreshing ditengah tugas akademik tersebut.

Akhirnya, naskah buku saya siap sebelum naskah skripsi saya rampung untuk disidangkan. Pada hari keduapuluhsatu di bulan November, saya mengirimkan naskah Jeda Sejenak ke Leutikaprio untuk diproses.


Buku ini menjadi terbagi pada tiga bagian besar.

Di Jeda Pertama, saya menamainya dengan Derap Langkah Kesyukuran, pada bagian ini, saya membahas tentang bagaimana mensyukuri hidup. Saya percaya, dalam setiap syukur, ada kesabaran, maka semoga untai tulisan yang dibuka dengan puisi ‘Perjalanan’ dan ditutup dengan ‘Menunggu; Menjaga’ itu bisa menginspirasi kita untuk selalu memberi ruang pada diri agar bisa menggandeng syukur atas segala macam nikmat yang mungkin kadang kita anggap sepele. Betapa pengejawantahan rasa syukur itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan sama sekali tidak sepele. Di bagian ini, secara personal saya menuliskan pula kisah tentang nostalgia di masa SD, untuk guru-guru saya, kawan-kawan saya, dan semua orang yang ada di masa menyenangkan itu. J

Di Jeda Kedua, saya memberinya judul bab Ada Cinta untuk Dakwah. Bagian ini menguraikan jejak-jejak perjalanan di jalan cahaya. Tentang kisah para Nabi, tentang kepedulian kita pada pelestina, tentang eksistensi kita sebagai khalifah. Awalnya, ada kekhawatiran sendiri untuk mengguna kata ‘dakwah’ dalam judul bab. Namun akhirnya saya sadar, bahwa masing-masing kita agaknya tidak boleh lagi mengkhususkan dakwah kepada anak pesantren atau para kiai saja. Sebab dakwah adalah tugas kita semua. Dan menyampaikan kebenaran sekecil dan sesederhana apapun itu, sesungguhnya adalah cara untuk masuk ke dalam jalan sepi tersebut. Jalan dakwah. Dan jalan dakwah tidak akan pernah berpisah dari indahnya ukhuwah. Maka pada bagian ini, saya menuliskan kenangan pada masa SMA dengan keasyikan rohis, juga masa-masa menjadi pengurus dalam sebuah forum yang kembali bersinggungan dengan dakwah sekolah. Juga tentang para akhwat yang membersamai saya di sana. J

Di Jeda Ketiga, saya menyebutnya Dalam Perjalanan Pulang. Bagian terakhir ini, mengeksplorasi issue tentang kematian, semoga bukan dengan cara yang mengerikan. Bagi saya, kematian adalah sebuah nasihat yang sangat nyata. Saya pernah melewati masa-masa dimana saya merasa sangat dekat dengan kematian, suatu waktu saya dihadapkan dengan vonis kematian saya sendiri, di kesempatan yang lain saya menyaksikan orang-orang terdekat yang pergi untuk selamanya. Itu semua, saya rasa sangat sia-sia tanpa saya bagikan dalam buku ini. Sebab mengingat mati sebenarnya akan mengingatkan kita tentang bagaimana hidup dengan lebih berarti. Suatu puisi saya buat di masa awal perkuliahan di Farmasi Unhas yang saya rasa sangat berat. Puisi berjudul ‘Suatu Saat’ itu saya persembahkan untuk teman-teman seperjuangan, Mixtura’07. Betapa sebenarnya saya saat itu sangat khawatir, takut bahwa nyawa saya akan dicabut dalam keadaan menulis laporan saking seringnya melakukan pekerjaan tersebut. Namun, akhirnya semua terlewati dengan caranya masing-masing. J

Karena tulisan-tulisan ini awalnya adalah untuk keperluan blogging, maka awalnya saya sempat tidak pede untuk membukukannya. Saya menganggap catatan ini sebagai sesuatu yang terlalu personal dan tidak layak untuk dikonsumsi publik. Namun, oleh Haniyah, saya kembali diingatkan bahwa banyak hal yang terjadi dalam hidup kita yang kadang juga dialami oleh banyak orang. Dan membagikan pengalaman pribadi tidak selalu berarti terlalu mengekspos diri. Hanya saja, di setiap cerita memang harusnya selalu ada manfaat yang bisa diambil oleh pembacanya. Maka, saya kembali bangkit.

Kekhawatiran berikutnya timbul saat saya kemudian sadar bahwa tulisan blog ini sebenarnya bisa saja dibaca oleh orang-orang dengan gratis, maka mengapa harus membuat buku berbayar untuk mengumpulkannya? Kegalauan itu kemudian saya sampaikan pada Kak Ai (Sari Yulianti) yang saya akrabi lewat blog di Multiply. Beliau juga telah lebih dulu menulis buku ‘Surga di Bawah Telapak Kaki Ayah’ yang juga diangkat dari blognya. Oleh Kak Ai saya mendapat nasihat, bahwa tidak semua orang dapat mengakses internet, maka dengan membukukannya, kita sedang mempermudah orang lain untuk memperoleh ‘nilai’ dari buku itu. Dan nilai tersebut memang agak sulit untuk dinominalkan dalam rupiah. Dan hal ini kemudian saya sadari saat saya mendapati tatap mata penuh antusias dari ibu penjaja nasi kuning di mushalla. Ia menatap buku saya dan membacanya dengan semangat. Ah.. Kak Ai memang benar.

Sejak bergabung dalam keredaksian sebuah majalah, saya seringkali dihinggapi rasa takut. Saya takut kepada orang-orang yang telah merelakan hartanya demi membeli majalah kami; saya takut ia tidak mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada uang yang sudah ia ‘korbankan’ itu. Rasa takut ini terang saja lebih hebat saat saya menjual buku saya sendiri. Dengan harga yang berkali lipat dari majalah tadi, saya sesungguhnya selalu khawatir bahwa nilai itu terlalu ‘mahal’ untuk tulisan-tulisan sederhana yang saya buat itu.

Namun, saya tahu. Saya hanya sedang berusaha. Saya sedang mencoba untuk meninggalkan jejak di muka bumi ini, agar kelak yang tersisa dari saya bukan hanya sekadar beberapa kata di batu nisan. Tapi begitu banyak kata yang saya sumbang lewat karya berupa buku. Saya sedang berusaha mewariskan nilai, meski mungkin sangat sedikit, meski mungkin terlihat kecil dan sepele saja, namun setidaknya saya berusaha. Dengan segala kerendahan hati, saya mempersembahkan karya ini. Bukan agar orang lain memandang saya lebih dari siapapun. Demi Allah, bukan! Aih, terlalu banyak aib saya yang Allah tutupi sehingga saya masih bisa berjalan di muka bumi dengan kepala tegap!

Karya ini adalah sebuah tugas hidup. Saya kini sedang menyerahkannya kepada kalian; para guru yang telah sudi memesan buku ini dan mengeluarkan uang untuk mendapatkannya. Kepada kalian, saya begitu berterima kasih dan berharap ada koreksi, ada teguran, kritik, dan masukan, atas tugas yang sedang saya kumpulkan. Nilailah! Dan saya bahkan sudah pernah mendapati tulisan saya dirobek di depan mata saya sendiri, maka untuk kritik yang paling pedas sekalipun; insya Allah saya siap.

Saya sering ‘disoroti’ karena dianggap terlalu sering ngalor ngidul di dunia maya. Mungkin kesannya saya terlalu eksis; dengan nama asli pula! Maka; Iya, saya sadari bahwa memang terkadang aktifitas di dunia maya begitu melenakan. Tapi, sejujurnya saya mendapatkan banyak manfaat darinya. Buku ini pun, menemukan jalannya di dunia maya. Saya pun, mendapatkan banyak kawan sehobi, bahkan bisa berakrab ria dengan penulis yang di masa lampau hanya bisa saya baca karyanya. Maka berselancar di dunia maya dengan identitas blak-blakan ini pun saya lakukan agar saya bisa istiqamah. Agar saya bisa tersorot dengan jelas, sehingga banyak yang bisa mengingatkan saat saya tidak berada pada jalur yang sebenarnya. Saat seseorang bisa menghantam kesadaran saya saya ia berujar; jangan lemah, ini bukan kamu yang saya kenal dengan tulisan-tulisan itu!

Maka sungguh, tidak ada satu pun yang saya harapkan kecuali bahwa Jeda Sejenak ini bisa membawa manfaat bagi saya dan kamu, yang sudi membacanya. Semoga menjadi amal kebaikan bagi masing-masing kita. Semoga kita peroleh hidayah dan menuju kampung akhirat dengan kesudahan yang indah. Aamiin…

Senin, 13 Februari 2012

Lagi, Tumbuh dan Berkembang Bersama Blog


Baiklah.

Di tulisan pertama, saya sudah menceritakan bagaimana blog telah menjadi semacam ruang untuk mengabadikan jejak. Yah, beberapa kejadian memang dapat tergambar dengan jelas dalam tulisan-tulisan saya di blog, juga mungkin tersirat dalam puisi-puisi di dalamnya.

Dari tulisan-tulisan blog, saya bisa berkaca kembali pada pengalaman saya menulis puisi di masa SMA. Ada juga tulisan tentang kerinduan saya pada beberapa orang kawan yang berpisah saat masuk dunia universitas. Tidak ketinggalan cerita tentang pengalaman selama perkuliahan berlangsung, semakin menegang saat proses penyelesaian tugas akhir, hingga akhirnya mencapai titik graduation day.

Selain perjalanan saya sendiri, dari blog juga saya dapat 'merasakan' perjalanan teman-teman yang lain. Yah, serangkaian cerita yang mereka torehkan di blog mereka masing-masing. Mengunjungi blog mereka layaknya sedang benar-benar berkunjung pada rumahnya, kemudian membicanginya dan mendapatkan kabar-kabar baru tentang hidupnya. Ah, bahkan di dunia maya pun mungkin saya kurang piawai untuk berakrab ria dengan banyak teman. Tapi, alhamdulillah, ada saja diantara mereka yang kemudian menjadi cukup akrab meski tidak pernah berjumpa.

Ya, kawan-kawan maya itu memang memiliki arti tersendiri. Pada titik tertentu, beberapa dari mereka saya simpan nomor hapenya hingga dapat berkomunikasi dengan lebih real-time. Dalam 'hubungan' ini, alat komunikasi semisal hape dan internet pun menjadi sangat penting. Sebab, tanpa keduanya, rasanya mereka menjadi 'hilang' dan tidak lagi bisa terlacak.Maka disanalah arti tersendirinya, menjaga komunikasi jarak jauh tersebut dengan hati-hati sehingga kawan-kawan maya tadi benar-benar terasa nyata.

Senang rasanya mengenal mereka dan seolah ikut membersamai perjalanannya. Cerita tentang anak-anaknya, saat mereka berhasil memenangkan lomba-lomba atau menghasilkan karya, ataupun dikala mereka menjalani saat-saat bahagia, semisal pernikahan misalnya. Rasanya, semua itu akan berbeda dengan pengalaman mengikuti perjalanan hidup kawan yang memang berada di dekat kita. Membayangkan bahwa ada orang yang nunjauh di sana, yang hanya kita kenal lewat layar komputer, tidak pernah berjumpa secara langsung kecuali lewat telekomunikasi jarak jauh, namun kemudian dapat mengetahui hal-hal update tentangnya, rasanya menjadi sebuah kesyukuran bagi kita yang lahir dan hidup di zaman teknologi ini.

Saya jadi ingat dengan blog baby-sedja, anak dari seorang junior masa SMA saya yang baru berusia sembilan bulan, namun sudah punya blog. Aslinya, blog itu diupdatekan oleh sang bunda, pun untuk keperluan lomba. Namun, saya merasa Sedja telah sangat beruntung dapat memiliki 'rekaman jejak'nya sendiri dalam bentuk dokumentasi blog, bahkan dengan cerita sejak hari pertama ia lahir! Tidak terbayangkan saat Sedja tumbuh besar nanti, alangkah senangnya ia dapat menikmati itu semua, dan mengambil pelajaran dari kehidupannya sendiri.

Yah, semoga aktivitas di dunia maya ini menjadi silaturahim yang berbuah kebaikan. Semoga ia terhindar dari segala fitnah yang hanya akan menyengsarakan. Dan semoga orang-orang yang menyaksikannya dikaruniakan prasangka baik untuk dapat memandang hal ini sebagai salah satu manfaat yang bisa kita ambil dari kecanggihan teknologi; pisau bermata dua itu.

Sebab mungkin ada beberapa langkah yang harus kita lewati terlebih dahulu, untuk tahu apa yang ada di sekelilingnya. Untuk itulah tercipta manusia lain yang mengajarkan kita tentang itu; tentang pengalaman hidup mereka yang sarat akan hikmah, dan kita akan beruntung jika dapat belajar darinya.

Kamar Indy, Feb 13 '12

Rabu, 08 Februari 2012

Boleh-Tidak Boleh-dalam Menulis


Banyak sekali penulis pemula yang bertanya,

“Kalau saya menulis seperti bla..bla..bla…, boleh enggak?”

“Boleh enggak sih, kalau saya menulis cerita yang seperti bla.. bla..bla…???”

“Kalau saya menulis tapi caranya seperti bla..bla.. bla… boleh enggak ya?”


Biasanya, saya menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu dengan bertanya balik, “Emang siapa yang melarang?”

Si penanya biasanya menjawab lagi, “Hehehe.. benar juga sih. Enggak ada yang melarang. Jadi boleh atau enggak nih?”

Saya jawab lagi, “Cyape deh…”

* * *

Teman-teman sekalian,
Menulis itu tidak sama dengan aturan hukum, perundang-undangan dan sebagainya. Menulis bukanlah soal benar atau salah. Menulis bukan soal boleh atau tidak boleh.

Jadi, tak ada istilah “boleh atau tidak boleh” dalam menulis. Kalaupun ada, itu hanya hal-hal yang berkaitan dengan sistem nilai, keyakinan, agama, atau kepercayaan yang kita anut. Misalnya, kita yang Muslim tentu tahu bahwa percaya pada peramal itu dosa besar. Jadi seorang Muslim tidak boleh membuat tulisan yang isinya mengajak pembaca untuk percaya pada ramalan paranormal.

Nah, masalah “boleh atau tidak” dalam menulis hanya sebatas itu. TITIK!!!

Selebihnya: TERSERAH KITA!

Kita mau menulis apapun, dengan cara apapun, semuanya terserah kita.

Menulis adalah masalah SENI dan KREATIVITAS. Dalam setiap seni, yang paling penting adalah KEINDAHAN.

Karena itu, utamakanlah keindahan setiap kali Anda menulis. Atau kalau dijabarkan, rumusan UMUMNYA adalah EMPAT hal berikut:
Buatlah tulisan yang disukai oleh pembaca.
.
Buatlah tulisan yang mudah dipahami oleh pembaca.
.
Kalau Anda hendak mengirim tulisan ke penerbit atau media massa, maka buatlah tulisan yang sesuai dengan kriteria yang mereka tetapkan. Agar peluang untuk dimuat lebih besar.
.
Pastikan bahwa tulisan Anda tidak bertentangan dengan aturan agama, hukum, dan/atau sistem nilai yang dianut oleh masyarakat (lihat poin “Tulisan Anda Ditentang oleh Masyarakat?” di bawah ini).

Itu saja. Titik.

Seorang penulis sukses adalah penulis yang berjuang untuk memenuhi keempat poin di atas. Jadi kalau Anda ingin menjadi penulis sukses, coba perjuangan Anda difokuskan pada 4 hal di atas. Setiap kali menulis, HAL UTAMA yang harus kita pikirkan adalah keempat hal di atas, bukan yang lain

Masalah boleh atau tidak boleh, itu hanyalah yang berkaitan dengan sistem nilai, agama, keyakinan yang Anda anut dan percayai.

* * *

Masalah Tata Bahasa dan EYD

Memang, tak ada satu hal pun di dunia ini yang terbebas dari aturan. Dalam menulis pun pasti ada aturan. Misalnya soal tata bahasa dan EYD.

Tapi sebenarnya itu bukan aturan, karena tidak sama dengan aturan hukum yang bila dilanggar bisa membuat kita masuk penjara. Juga tidak sama dengan kitab suci, yang bila dilanggar bisa membuat kita masuk neraka.

Tata bahasa, EYD dan sebagainya… itu semua adalah KAIDAH yang dibuat berdasarkan KONSENSUS. Yang namanya konsensus, bisa saja berubah sesuai perkembangan zaman. Dan bila konsensus dilanggar, apakah Anda akan masuk penjara atau masuk neraka?

Jawabannya: TENTU TIDAK!

Jadi selama pelanggaran itu tidak membuat Anda masuk neraka atau masuk penjara, apa yang harus ditakutkan?

Saya akan berikan sebuah contoh kalimat yang sudah sangat akrab dengan keseharian kita saat ini:

"Gue banget."

Anda yang mengerti tata bahasa pasti tahu, bahwa kalimat ini SANGAT SALAH. Kata “banget” seharusnya disandingkan dengan kata sifat (misal: cantik banget), bukan dengan kata benda.

Tapi gue banget, kopi banget, Indonesia banget, dan banget-banget lainnya yang disandingkan dengan kata benda, dan itu jelas-jelas sangat keliru dari segi tata bahasa, saat ini begitu sangat menggejala di negeri kita.

Anehnya, tak ada orang yang protes. Anehnya lagi, kita merasa oke-oke saja menggunakannya. Lebih aneh lagi, kita bisa memahami artinya walau itu jelas-jelas salah dari segi tata bahasa.

Dari sini saya yakin Anda kini paham, bahwa yang paling penting dalam berbahasa bukan tata bahasa atau aturan berbahasa lainnya. Yang paling penting dalam berbahasa adalah KOMUNIKATIF. Artinya:
Apa yang kita ucapkan bisa dipahami oleh orang lain.
.
Apa yang kita maksud lewat sebuah ucapan, bisa dipahami dengan cara yang sama oleh orang lain. Tidak ada salah persepsi. Kalaupun ada salah persepsi, persentasenya sangat sedikit.

* * *

Sukses Karena Berani Melanggar Aturan

Teman-teman sekalian,
Coba perhatikan sekeliling kita. Lihatlah, banyak sekali inovasi baru yang berawal dari keberanian seseorang untuk tampil beda, melakukan hal-hal yang tidak biasa, bahkan melanggar konsensus, pakem, atau tradisi yang sudah dianut oleh masyarakat selama bertahun-tahun.

Berikut saya tulis beberapa contoh di antaranya.

1. Serial Lupus

Serial karya Hilman Hariwijaya ini sangat terkenal sekitar tahun 1990-an. Kenapa? Karena penulisnya berani melanggar pakem. Dia menulis novel remaja yang bahasanya sangat gaul ala remaja ibukota. Sebelumnya, tak ada satu orang penulis pun yang berani berbuat seperti itu.

Dan kalau kita saat ini kenal dengan teenlit, termasuk novel-novel karya Raditya Dika yang ngetop banget itu, sadarilah bahwa semuanya mungkin tidak pernah ada bila dulu Hilman “Lupus” tidak berani tampil beda dengan Serial Lupus-nya.

2. Opera Van Java (OVJ)

Mengapa OVJ bisa sangat terkenal? Karena mereka berani membuat konsep acara komedi yang out of the box, tidak seperti biasanya, lain dari yang lain. Bagaimana mungkin ada dalang yang berani memarahi para pemain di atas panggung, karena si pemain selalu ngawur dalam memainkan perannya? Baru OVJ yang berani membuat komedi dengan konsep yang “aneh” seperti itu.

3. Si Doel Anak Sekolahan

Sinetron karya Rano Karno yang ngetop sekitar tahun 1995 (kalau tak salah) ini bisa sukses luar biasa, karena mereka berani membuat cerita dengan setting budaya Betawi yang sangat kental. Sebelumnya, tak ada yang berani membuat acara TV yang seperti itu, karena budaya Betawi dianggap kampungan, tak mungkin ada yang mau nonton

4. TV One

Televisi milik Bakrie Group ini berhasil menjadi TV berita nomor satu di Indonesia, mengalahkan Metro TV yang sudah eksis beberapa tahun sebelumnya. Kenapa? Karena mereka berani membuat konsep acara berita yang out of the box, lain dari yang lain. Acara berita di TV yang sebelumnya terlihat sangat formal, resmi dan kaku, oleh TV One diubah menjadi sesuatu yang sangat santai. Bahkan news anchornya tidak lagi duduk di dalam studio, melainkan berdiri di pinggir jalan sambil disaksikan oleh orang-orang yang lewat.

5. Laskar Pelangi

Mengapa novel karya Andrea Hirata ini bisa sukses luar biasa? Karena penulisnya berani membuat cerita yang benar-benar berbeda, di tengah maraknya fenomena teenlit dan metropop ketika itu.

* * *

Nah…
Dari semua contoh yang saya tulis di atas, semuanya sekarang sudah sangat jelas, bukan?

Kreativitas, berani tampil beda, berpikir dan bertindak out of the box, adalah hal yang sangat penting di dunia seni, termasuk dalam hal tulis-menulis.

Karena itu, dalam menulis sebaiknya kita tidak terlalu sering bertanya, “Ini boleh atau tidak?”

Pokoknya masalah boleh atau tidak boleh dalam menulis, sama saja dengan boleh atau tidak boleh dalam kehidupan sehari-hari. Kalau dalam keseharian kita dilarang mencuri, maka dalam menulis kita tidak boleh membuat tulisan yang mengajari orang bagaimana cara mencuri

Selama isi tulisan atau cara menulis Anda tidak melanggar aturan hukum atau aturan agama, tidak bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat, maka silahkan LANJUTKAN!

Bahkan bila Anda tetap ngotot membuat tulisan yang melanggar semua aturan dan sistem nilai, itu adalah hak asasi dan tanggung jawab Anda sepenuhnya. Bebas-bebas saja, selama Anda berani menanggung resikonya

* * *

Tulisan Anda Ditentang oleh Masyarakat?

Tahun 1989 lalu, dunia sempat digegerkan oleh sebuah novel karya Salman Rusdhie yang berjudul Satanic Verses (Ayat Ayat Setan). Umat Islam menentangnya, karena isi novel ini jelas-jelas menghina ajaran Islam.

Nah, bagaimana jika Anda ingin membuat tulisan yang berpotensi ditentang oleh masyarakat umum seperti ini?

Begini ya:
Sebagai seorang manusia, Anda punya HAK PENUH untuk membuat tulisan apapun. Termasuk bila Anda ingin membuat tulisan seperti Ayat Ayat Setan, tulisan yang bertentangan dengan aturan hukum, ajaran agama dan/atau sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Itu hak asasi Anda sepenuhnya.
.
Dan resiko dari keputusan Anda untuk membuat tulisan seperti itu, adalah tanggung jawab Anda sepenuhnya. Termasuk resiko di akhirat nanti
.
Intinya: DARI SEGI PENULISAN, Anda bebas menulis apapun sekehendak Anda. Batasannya hanyalah hal-hal yang sudah saya sebutkan di atas.

“Kalau menurut pendapat Pak Jonru sendiri, gimana?”

Secara pribadi, saya Insya Allah tidak akan bersedia membuat tulisan yang bertentangan dengan ajaran agama saya, Islam. Dan kalau Anda ingin menjadi seorang muslim yang baik, ayo berpendapat yang sama dengan saya. Tapi kalau Anda tidak sependapat, itu hak pribadi Anda, dan resikonya ditanggung sendiri ya

* * *

Dituduh Gila Karena Berbeda?


Tirto Utomo - pencipta merk Aqua - dulu diejek karena idenya membuat dan menjual air mineral dalam kemasan dianggap gila, tak akan laku.

.

Sudah menjadi resiko bahwa orang yang berani tampil beda, yang tampil dengan ide-ide baru, akan disebut gila. Mereka diejek bahkan diremehkan oleh masyarakat.

Sinetron Si Doel Anak Sekolahan sempat ditolak oleh tiga stasiun TV, karena mereka percaya bahwa sinetron seperti itu tak akan laku karena dianggap kampungan.

Harry Potter sempat ditolak oleh sejumlah penerbit, karena mereka tidak yakin cerita karya JK Rowling itu bisa laku di pasaran.

Dulu, saya juga diejek dan diledek karena mengelola PenulisLepas.com. Banyak teman yang berkata, “Ngapain kamu menghabiskan banyak waktu untuk mengurus website yang enggak ada duitnya itu? Kurang kerjaan amat!”

Tapi coba lihat sekarang:
Sinetron Si Doel Anak Sekolahan dan novel Harry Potter terbukti laris manis di pasaran.
.
Rano Karno dan JK Rowling yang dulu diejek bahkan disebut orang gila, kini dikagumi oleh banyak orang karena kesuksesan karya mereka yang berani tampil beda.
.
Aqua kini menjadi produk air mineral yang paling laris di Indonesia, bahkan sudah menjadi generik.
.
Alhamdulillah, saya dan PenulisLepas.com pun mengalami “perlakuan publik” yang lebih kurang sama. Kini, tak ada lagi yang berani mengejek saya, karena orang-orang sudah melihat bagaimana PenulisLepas.com bisa menjadi salah satu modal dasar saya dalam mengelola bisnis di bidang penulisan.

* * *

Teman-teman sekalian,
Ada satu kalimat bijak yang menurut saya sangat benar karena sudah sangat sering terbukti di mana-mana:

Seseorang dengan ide baru adalah orang gila hingga ide itu berhasil. (Mark Twain)

Orang yang punya ide baru, lain dari yang lain, belum pernah ada, biasanya akan diejek orang. Dia disebut gila, idenya dianggap aneh dan tak mungkin berhasil. Barulah setelah idenya itu berhasil, semua orang berbalik kagum dan ingin menirunya.

Jadi kalau teman-teman punya ide baru lalu diejek, diremehkan, bahkan Anda disebut gila, saran saya CUEKIN SAJA. Yakinkan pada diri sendiri:

“Saat ini saya memang masih dianggap gila. Tapi tunggulah saatnya tiba! Anda yang mengatakan saya gila akan berbalik kagum berat, iri luar biasa dan ingin sekali meniru saya!”

NB: Dan pesan moral bagi Anda yang masih suka mengejek orang lain yang menurut Anda punya ide aneh, tidak masuk akal, gila dan sebagainya, saran saya mulai sekarang berhentilah mengejek. Suatu saat nanti bila mereka sukses, Anda akan malu sendiri!

Semoga bermanfaat. Salam Sukses Selalu!

Jonru

www.jonru.net

Senin, 06 Februari 2012

Tumbuh bersama Blog


Haduh, judulnya kok kayak iklan produk apa gitu yah.. Hehehe.. Tapi saya rasa, kalimat ini cukup tepat untuk mewakili tulisan yang saya buat ini.

Ya, tanpa saya sadari, saya memang telah tumbuh bersama blog. Memang, saya telah berkomitmen (setidaknya kepada diri sendiri) untuk menjadikan blog-blog saya bukan hanya sebagai tempat curhat belaka. Saya berharap, ada kemanfaatan dari kejadian sehari-hari yang saya alami dan saya tuliskan itu, terutama untuk tulisan sejenis essai di Rumah Tafakkur. Untuk puisi di Sajak yang Berhamburan, perlakuannya agak berbeda. Puisi memang terkesan lebih 'misterius' untuk menyampaikan isi hati (ceile...). Kata-katanya yang tidak 'direct' membuat saya lebih leluasa untuk menggambarkan apa yang saya rasakan. Pembaca jadi tidak mengerti? Tidak mengapa, sebab puisi memang untuk dinikmati oleh pembacanya masing-masing. Penyairnya tidak punya 'kewajiban' untuk menjelaskan atau 'mendikte' pembaca tentang maksud dari puisinya. Ini menurut saya yaa...

Ya, saat membaca beberapa tulisan ataupun puisi yang saya simpan di blog, ingatan saya seringkali terbawa pada 'sebab dituliskannya' entry tersebut. Maka saya kemudian dapat bernostalgia dari tulisan-tulisan itu. Selain itu, saya dapat menyaksikan bagaimana tulisan saya terus berubah dan berkembang seiring dengan waktu dan intensitas menulis. Perkembangannya memang tidak begitu signifikan. Tapi setidaknya, saya tahu bahwa saya telah belajar dalam setiap prosesnya. Terutama setelah kemudian saya bergabung dalam keredaksian sebuah majalah. Dengan trade-record bahwa selama ini saya membuat tulisan dengan gaya suka-suka. Saya posting pun tidak ada yang larang, dan yang membacanya pun santai-santai saja.

Tapi, setelah menulis untuk majalah, saya dihadapkan dengan tema, outline, deadline, dan editor bahasa yang siap mencorat-coret tulisan saya. Maka, diawal-awalnya dulu, saya sempat agak kaget setelah tulisan saya diedit oleh editor. Waktu itu, file naskah langsung saya kirimkan via email dan diedit langsung pada softcopy tersebut. Setelah hasilnya dikirimkan kembali pada saya, saya SHOCK. Ya, saya kaget melihat tulisan hasil editan yang saat itu saya rasa bukan-gue-banget.

Waktu itu, saya sempat agak ngambek. Saya merasa cita rasa dan karakter tulisan saya sedang diobrak-abrik. Saya merasa tidak nyaman dengan tulisan saya sendiri, dan menjadi seperti tertumbuk-tumbuk saat membacanya. Namun, setelah menelaah dengan pikiran yang lebih logis, akhirnya saya belajar. Yah, saya menemukan bahwa salah satu efek negatif dari kegemaran saya memposting di blog adalah; saya menjadi tidak terkendali.

Ya, apalagi alhamdulillah, selama ini orang-orang hanya berkomentar positif pada apa yang saya tulis. Sehingga, saya pun merasa aman-aman saja tanpa sadar bahwa saya sebenarnya terjangkit penyakit akut saat membuat tulisan. Penyakit itu saya namakan; adiksi-pada-kalimat-panjang-tanpa-koma-atau-titik. Ya, dulu saya sering membuat tulisan dengan kalimat-kalimat panjang yang sebenarnya membuat orang ngos-ngosan saat membacanya. Namun, saya tidak sadar hingga editor menyadarkan saya. Inilah yang menyebabkan saya tertumbuk-tumbuk saat membaca tulisan hasil editing itu. Sebab, oleh editor, kalimat-kalimat panjang saya telah diselingi dengan jeda berupa koma, bahkan titik.

Menurut sepengetahuan saya, cara mengetahui apakah kalimat kita sudah cukup panjang adalah dengan mencoba membacanya dengan suara keras. Jika saat membacanya kita kecapean, maka berarti kalimatnya terlalu panjang dan perlu dijeda dengan koma atau titik tambahan.

Dan ternyata tulisan-tulisan saya dulu memang membuat orang lain bisa kehabisan nafas saat membacanya secara lantang. Bayangkan, terkadang satu paragraf hanya terdiri dari satu kalimat saja, saking panjangnya!

Maka, saat menyusun buku Jeda Sejenak pun, saya menemukan banyak hal yang sama pada tulisan-tulisan saya di masa lalu. Maka melakukan editing sendiri pada tulisan yang sudah mengendap selama kurun waktu lama, memberikan saya gambaran bahwa kita semua memang perlu terus belajar. Menertawakan tulisan-tulisan lama adalah pertanda bahwa kita telah mengalami kemajuan dalam hal teknik menulis.

Maka saya bahagia, telah menjadi blogger yang mengabadikan jejak langkah saya pada blog. Dari sana saya bercermin tentang masa lalu. Dari sana saya belajar tentang perjalanan hidup saya sendiri. Saat saya sedih, saya tahu saya pernah melewati masa-masa indah. Saat saya bahagia, saya juga sadar bahwa ada saja waktu dimana saya merasakan kepedihan. Dan untuk keduanya, saya semakian yakin pada keadilan Allah. Tumbuh bersama blog telah memantapkan saya pada firmanNya; bahwa kesulitan akan selalu dipergilirkan dengan kemudahan. Percayalah.

Menulislah!

Sabtu, 04 Februari 2012

Kata Mereka tentang Jeda Sejenak


Buku ini menyuguhkan kontemplasi dan seruan yang rendah hati dari seorang Arrifa’ah yang disajikan secara apik dan dengan gaya bahasa yang unik memukau dalam bentuk prosa dan puisi. Sangat layak dibaca oleh siapa pun yang hendak jeda sejenak dari kejenuhan dan hiruk-pikuk rutinitasnya karena ada kesegaran dan pencerahan di dalamnya .

-Mugniar – seorang ibu dari 3 anak, blogger (http://mugniarm.blogspot.com)


Jeda sejenak bukan berarti diam tanpa arti. Jeda sejenak seringkali membawa kita pada nuansa baru yang penuh kekuatan untuk memperbaiki diri. Di saat itulah Arrifa’ah menguntai aneka hikmah dengan bahasanya yang apik. Buku ini pada akhirnya menjadi bacaan yang pas sekali untuk menemani jeda sejenak kita.
-Sari Yulianti, Penulis buku Surga di Telapak Kaki Ayah

Sebuah tulisan yang ditulis dari hati maka akan sampai ke hati penikmatnya. Sederhana, namun mengikat makna, terlebih di bab dalam perjalanan pulang,tentang pemutus kenikmatan yaitu kematian ! Saya yang terbiasa melihat banyak kelahiran dan kematian, ini merupakan suntikan tersendiri bahwa memang kita telah di vonis MATI!"

_Andi Nurul Rizqi_Ners di King Abdullah Medical City, Maternity and Children Hospital, Madinah, Saudi Arabia


Tidak Berlebihan rasanya, jika sy menyebut penulis sebagai orang yang penuh Motivasi,. Goresan Penanya mampu memotivasi jiwa - jiwa yang sedang kehilangan arah, yang selalu bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian sederhana, ya,.. inilah jeda sejenak bagi anda dan saya untuk kembali menyemangati diri jika sedang kehilangan arah.

-Hilya Al Aina, Aktivis Dakwah


Hanya penulis yang mampu mengambil jenak-jenak dalam hidupnyalah yang berhasil meninggalkan jenak-jenak perenungan di hati pembacanya. Dan Arrifa'ah, sebagai penulis, berhasil dengan baik melakukannya; berhenti sejenak untuk memaknai segala aktivitas, dan menuliskannya.

-Iqbal Lathief, blogger (http://mylathief.multiply.com)


Sekumpulan tulisan perihal peristiwa-peristiwa kecil, sederhana, akrab dijumpai, yang kita tidak pernah amat peduli memaknainya. Arrifa'ah mengajak kita berdiam sejenak menjadi jiwa yang lebih besar, yang lebih peduli, yang tidak egois melihat segalanya dari kacamata sendiri. Baca dan jadilah pribadi yang berjiwa besar!

-Andy Hardiyanti, kontributor dalam Antologi Puisi Mengejar Matahari

Saya Menulis, Maka Saya Ada


Selalu lebih mudah bagi saya untuk memulai kata pertama untuk dituliskan, dibandingkan memilih kalimat pertama untuk diobrolkan, terutama dengan orang yang tidak terlalu akrab atau baru saya kenal. Di keluarga besar sendiri, saya dikenal sebagai anak yang introvert, susah diajak ngobrol, lebih banyak diam dan memperhatikan sekeliling. Bahkan dengan sepupu-sepupu yang memang jarang saya temui, sulit bagi saya untuk langsung mengakrabkan diri, atau bahkan memulai menegur duluan. Entahlah apa yang salah dari saya. Yang jelas, hal-hal di atas kemudian menimbulkan berbagai macam istilah yang dinisbatkan bagi saya; tidak gaul, kuper, pendiam, sampai dengan televisi rusak (ada gambar, tidak ada suara) >_<. Ini mungkin tidak lepas dari kebiasaan saya yang terlalu lama berpikir sebelum mengucapkan sesuatu; Apakah yang saya ucapkan tidak akan membuatnya sakit hati? Tidak nyaman? Atau tersinggung? Hingga pada akhirnya –dan sangat sering terjadi; saya tidak mengucapkan apa-apa.


Awalnya, saya sempat cukup terganggu dengan semua itu. Saya pernah down dan akhirnya bingung sendiri untuk menghadapi situasi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, dan seiring dengan penerimaan saya atas diri saya sendiri, saya mulai mengalami resistensi (kebal) terhadap berbagai macam pengistilahan tersebut. Yah, saya tetap mencoba untuk menjadi manusia yang supel, layaknya manusia pada umumnya (hehehe…), tapi saya juga tetap tidak dapat membohongi diri, bahwa tiap orang punya blue print-nya masing-masing. Cetak biru yang telah nempel pada DNA kita, yang agaknya sulit di ubah. Maka ijinkan saya untuk mengubah paradigma, dengan menyebut kekurangan sebagai keunikan. Setuju?


Baiklah.


Saya akui saya memang agak bermasalah dengan aktivitas ngobrol dan gaul. Tapi saya merasa lebih mudah dan agak menguasai berbahasa lewat tulisan. Mungkin hal ini tidak terpisahkan dari kegilaan membaca. Kapan saja dan dimana saja. Tempat favorit saya untuk membaca adalah di atas angkot dalam perjalanan panjang menuju atau dari kampus. Mengapa di atas angkot? Nah, ini dia beberapa alasannya;


1. Memanfaatkan waktu. Bagi saya, membaca tentu lebih baik daripada saya bengong dan hanya menatap nanar pada jalan raya. Menatap sembarangan lebih berpotensi membuat kita melihat hal-hal yang tidak seharusnya dilihat. Tapi, sisi negative dari hal ini adalah, saya menjadi manusia yang buta arah. Dua puluh tahun lebih bercokol di kota Makassar, tapi juga tidak pernah benar-benar menguasai letaknya. Solusinya adalah; siapkan pula waktu untuk memperhatikan jalan. Alokasikan dengan baik kapan waktunya membaca, dan kapan waktu menghapal rute. Hehehe…


2. Bebas gangguan. Apalagi saat melakukan perjalanan sendirian, tentu akan lebih menenangkan duduk berderet dengan orang-orang yang tidak kita kenal, yang tidak mungkin memotong waktu membaca kita. Percayalah, tidak ada hal yang lebih menjengkelkan dibandingkan diganggu saat membaca!


3. Antisipasi supir Formula 1. Saat ini, makin banyak supir angkot yang hobi ngebut. Mereka mungkin tidak dapat membedakan antara manusia dengan karung beras, sehingga seenaknya saja tancap gas, padahal penumpangnya sudah terjungkal kiri-kanan. Nah, akan sangat bikin deg-degan saat harus tetap menatap jalan waktu menumpang angkot yang ngebut. Biasanya, saat angkot lagi ngebut-ngebutnya, saya menutup mata agar tidak terlalu tegang. Daripada menutup mata dan tidak mendapat apa-apa, lebih baik padangan saya arahkan ke buku, dan membaca!


NB; Jangan lupa memastikan bahwa perjalanan Anda cukup jauh untuk membaca. Khawatirnya, tempat tujuan Anda jadi terlewat karena terlalu serius membaca. Maka, perhitungkanlah! ^_^


Bagi saya, akan sangat dipertanyakan seorang muslim yang malas membaca. Bukankah ayat yang pertama kali turun adalah seruan untuk membaca? Membaca dalam hal ini tentunya adalah membaca bacaan yang bermanfaat! Sebagai hal yang tidak terpisahkan dari itu adalah aktivitas menulis. Bukankah Allah telah bersumpah demi qalam (pena). Dan bukankah hal ini menunjukkan keutamaannya? Nah, bukankah pula para ulama mencontohkan kepada kita untuk menulis? Sehingga setelah kepergian mereka dari dunia yang fana ini, kita tetap dapat merasakan keberadaan Ibnul Qayyim, Imam Bukhari, Ibnu Taimiyah, Imam Syafiie, dan ulama-ulama lain yang seolah masih terus duduk di hadapan kita untuk membagikan ilmunya? Yah, itu karena mereka menuliskannya!


Maka menulislah untuk perubahan!


Betapa banyak kejadian-kejadian sederhana di sekitar kita yang bisa menjadi luar biasa saat ia dituliskan dan diambil hikmahnya. Bahkan kehidupan kita sendiri pun sebenarnya adalah roman yang luar biasa dan mengandung banyak pelajaran saat ia dapat disusun dalam kata-kata yang apik. Menulislah untuk menunjukkan bagaimana kita berpikir. Bagaimana kita memandang sesuatu. Bagaimana kita menyikapi banyak hal. Meminjamkan ‘kacamata’ kita pada orang-orang di sekitar.


Saat ini, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana kekuatan kata-kata dapat begitu hebat menembus batas! Seiring dengan teknologi yang menyuguhkan berbagai jejaring social. Situs dimana kita mengekspresikan diri lewat tulisan. Mengabarkan kepada dunia tentang diri kita lewat kata-kata. Betapa banyak pergerakan besar-besaran yang timbul akibat info yang beredar di dunia maya. Dan betapa seringnya massa menjadi terprovokasi karena pergerakan yang dimulai dari internet!


Sayangnya, di lain pihak, terkadang banyak orang yang menjadikan jejaring sosialnya sebagai sekadar tembok ratapan. Membuang kata-kata yang mungkin dapat mematahkan semangat dan mematikan hati orang lain. Hati-hatilah, kawan! Sebab sebagaimana menunjukkan kebaikan dapat bernilai pahala, maka bisa jadi menunjukkan keburukan juga dapat berbalas dosa. Maka bijaklah kepada setiap status, notes, atau pun tweeps Anda. Percayalah, itu semua pun akan dimintai pertanggungjawaban.


Konon, menulis merupakan suatu terapi yang ampuh untuk menyalurkan segala emosi. Menulis di dunia maya –dalam bentuk blog, juga dinilai sebagai salah satu langkah nge-net sehat yang bisa memajukan bangsa! Memiliki blog adalah salah satu alat pemacu untuk terus menulis. Setidaknya, kita bisa termotivasi dengan perasaan ‘tidak tega’ melihat blog kita yang begitu-begitu saja. Maka semangat menulis akan muncul dari sana.


Saya sempat secara ekstrim, ingin mencoba-coba meniru seorang penulis (yang lumayan saya gemari) yang bersumpah pada dirinya sendiri; saya tidak akan menikah sebelum menerbitkan buku puisi! Frontal, bukan? Tapi terlepas dari itu, saya kagum dengan komitmennya untuk dapat menghasilkan karya konkret untuk menulis sebuah buku. Namun, belakangan saya pikirkan, sebenarnya bukan masalah adanya buku yang terbit atau tidak. Bukan masalah apakah cap sebagai ‘penulis’ itu ada atau tidak. Tapi, aktivitas menulis itu sendiri yang menjadi tumpuannya! Meski kemudian tulisan-tulisan ini tidak akan pernah terbukukan (tapi saya akan terus berusaha untuk dapat membukukannya, doakan yah! ^_^), dan hanya akan beradar di dunia maya (dengan segala kekejaman plagiator yang bisa muncul di mana saja), saya ingin mencoba membuat diri saya berfokus pada ketersebarannya. Apakah kemudian ide-ide (sederhana) ini hanya tersebar lewat layar-layar laptop, atau saat sama sekali tidak dinisbatkan pada saya (karena aktivitas copas tanpa ijin, misalnya), atau bahkan saat seseorang mencaplok dan mengaku-aku atasnya, maka biarlah. Biarlah Allah saja yang menjadi saksi dan mencatat segala amal kita –sekecil apapun itu. Dan jika pun ‘cap’ penulis (buku) itu tidak saya dapatkan di dunia, maka saya tetap berharap akan disimpankan bagi saya (pahalanya) di akhirat. Amien.


Maka demikianlah ilmu. Ia akan terikat jika dituliskan. Berbuah amal, berbuah pahala.


Maka demikianlah saya. Saya menulis, maka saya ada!


Untuk almamater tercinta, SMA Negeri 3 Makassar;

dan Jenius03 yang ada di dalamnya.

Menulis = Konsisten + Disiplin


Apa sih yang didapat dari menulis? Honor? Ketenaran? Penyaluran hobi?

Dalam wawancaranya dengan sebuah harian nasional, Clara Ng – seorang penulis yang telah menghasilkan puluhan buku cerita anak dan novel – mengatakan bahwa menulis adalah satu-satunya cara agar tetap ‘waras’. Melalui tulisannya, Clara menyalurkan ide-idenya, kegelisahannya dan pemikirannya. Bagi Bang Jonru, founder Writers Academy, menulis adalah part of his life. Bagi saya – yang ingin tulisan saya ‘beredar’ di media cetak – menulis sama dengan konsisten dan disiplin.

Ketika pertama kali tulisan saya muncul di sebuah majalah anak-anak, wahh.. senangnya luar biasa. Padahal honornya tidak luar biasa, hehehe…. Setelah yang pertama itu, saya ingin tulisan saya lainnya bisa dimuat. Bukan cuma di satu media cetak, tetapi di banyak media cetak yang berbeda. Kalau bisa sih menjadi penulis tetap. Berhubung sampai sekarang belum ada yang menawari, saya sendiri yang membuat jadwal kapan harus mengirim tulisan ke media A, kapan waktunya menulis untuk media B, dan seterusnya.

Kelihatannya mudah, tetapi prakteknya sama sekali tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namanya juga manusia, inginnya sih hari ini mengirim tulisan ke media, minggu depan dimuat, bulan depan ditawari jadi kontributor tetap, tiga bulan kemudian menerbitkan buku dan langsung best seller, hehehe….

Padahal kenyataannya tidak bisa seperti itu. Setiap sesuatu itu perlu proses dan perlu waktu. Kuncinya adalah konsisten dan disiplin. Karena saya ingin ingin tulisan saya dimuat di media cetak, ya saya harus rajin mengirim tulisan.

Long journey begins with one small step

Berapapun jauhnya jarak yang harus ditempuh, kalau kita mulai menapakinya walaupun dengan langkah kecil sekalipun, pada akhirnya kita akan sampai di garis finish. Namun bila kita tidak mulai melangkah, kita tidak akan pernah tiba di garis finish, walaupun jarak yang harus ditempuh amatlah dekat.

Jadi, mulailah konsisten dan disiplin dengan apapun yang ingin Anda wujudkan, apapun itu. Ngomong-ngomong soal konsisten dan disiplin, tulisan ini adalah salah satu wujud konsistensi dan disiplin saya sebagai kontributor tetap PenulisLepas.com. Konsisten untuk terus menulis di PenulisLepas.com. Disiplin dengan jadwal mengirim tulisan yang sudah saya buat. Mudah-mudahan untuk selanjutnya saya bisa lebih sering sharing banyak hal melalui tulisan-tulisan saya. Semoga!

sumber: penulislepas.com

Kultwit #Write Salim A. Fillah

1. Menulis adalah mengikat ilmu & pemahaman. Akal kita sebagai kurniaNya, begitu agung dayanya menampung sedemikian banyak data-data. #Write

2. Tapi kita kadang sulit memanggil apa nan telah tersimpan lama; ilmu dahulu itu berkeliaran & bersembunyi di jalur rumit otak kita. #Write

3. Maka menulis adalah menyusun kata kunci tuk buka khazanah akal; sekata tuk sealinea, sekalimat tuk se-bab, separagraf tuk sekitab. #Write

4. Demikianlah kita fahami kalimat indah Asy Syafi'i; ilmu adalah binatang buruan, & pena yang menuliskan adalah tali pengikatnya. #Write

5. Menulis juga jalan merekam jejak pemahaman; kita lalui usia dengan memohon ditambah ilmu & dikaruniai pengertian; adakah kemajuan? #Write

6. Itu bisa kita tahu jika kita rekam sang ilmu dalam lembaran; kita bisa melihat perkembangannya hari demi hari, bulan demi bulan. #Write

7. Jika tulisan kita 3 bulan lalu telah bisa kita tertawai; maka terbaca adanya kemajuan. Jika masih terkagum juga; itu menyedihkan. #Write

8. Lebih lanjut; menulis adalah mengujikan pemahaman kepada khalayak; yang dari berbagai sisi bisa memberi penyeksamaan & penilaian. #Write

9. Kita memang membaca buku, menyimak kajian, hadir dalam seminar & sarasehan; tapi kebenaran pemahaman kita belum tentu terjaminkan. #Write

10. Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan. #Write

11. Penulis hakikatnya menyapa dengan ilmu; maka ia berbalas tambahan pengertian; kian bening, kian luas, kian dalam, kian tajam. #Write

12. Agungnya lagi; sang penulis merentangkan ilmunya melampaui batas-batas waktu & ruang. Ia tak dipupus usia, tak terhalang jarak. #Write

13. Adagium Latin itu tak terlalu salah; Verba Volant, Scripta Manent. Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis mengabadi. #Write

14. Tapi bagi kita, makna keabadian karya bukan hanya soal masyhurnya nama; ia tentang pewarisan nilai; kemaslahatan atau kerusakan. #Write

15. Andaikan benar bahwa Il Principe yang dipersembahkan Niccolo Machiavelli pada Cesare de Borgia itu jadi kawan tidur para tiran... #Write

16. ..seperti terisyu tentang Napoleon, Hitler, & Stalin; akankah dia bertanggungjawab atas berbagai kezhaliman nan terilham bukunya? #Write

17. Sebab bukan hanya pahala yang bersifat 'jariyah'; melainkan ada juga dosa yang terus mengalir. Menjadi penulis adalah pertaruhan. #Write

18. Mungkin tak separah Il Principe; tapi tiap kata yang mengalir dari jemari ini juga berpeluang menjadi keburukan berrantai-rantai. #Write

19. Dan bahagialah bakda pengingat; huruf bisa menjelma dzarrah kebajikan; percikan ilhamnya tak putus mencahaya sampai kiamat tiba. #Write

20. Lalu terkejutlah para penulis kebenaran, kelak ketika catatan amal diserahkan, "Ya Rabbi, bagaimana bisa pahalaku sebanyak ini?" #Write

21. Moga kelak dijawabNya, "Ya, amalmu sedikit, dosamu berbukit; tapi inilah pahala tak putus dari ilham kebajikan nan kau tebarkan." #Write

22. Tulisan sahih & mushlih; jadi jaring yang melintas segala batas; menjerat pahala orang terilham tanpa mengurangi si bersangkutan. #Write

23. Menulis juga bagian dari tugas iman; sebab makhluq pertama ialah pena, ilmu pertama ialah bahasa, & ayat pertama berbunyi "Baca!" #Write

24. Tersebut di HR Ahmad & ditegaskan Ibn Taimiyah dalam Fatawa, "Makhluq pertama yang diciptaNya ialah pena, lalu Dia berfirman... #Write

25. .."Tulislah!" Tanya Pena; "Apa yang kutulis, Rabbi?" Kata Allah; "Tulis segala ketentuan yang Kutakdirkan bagi semua makhluqKu." #Write

26. Adapun ilmu yang diajarkan pada Adam & membuatnya unggul atas malaikat nan lalu bersujud adalah bahasa; kosa kata. (QS 2: 31) #Write

27. Dan "Baca!"; wahyu pertama. Bangsa Arab nan mengukur kecerdasan dari kuatnya hafalan hingga memandang rendah tulis-baca

28. ..menulis -kata mereka- ialah alat bantu bagi yang hafalannya di bawah rata-rata>, tiba-tiba meloncat ke ufuk, jadi guru semesta. #Write

29. Muhammad hadir bukan dengan mu'jizat yang membelalakkan; dia datang dengan kata-kata yang menukik-menghunjam, disebut 'Bacaan'. #Write

30. Maka Islam menjelma peradaban Ilmiah, dengan pena sebagai pilarnya; wawasan tertebar mengantar kemaslahatan ke seantero dunia. #Write

31. Semoga Allah berkahi tiap kata yang mengalir dari ujung jemari kita; sungguh, buku dapat menggugah jiwa manusia & mengubah dunia. #Write

32. Bagaimana sebuah tulisan bisa mengilhami; tak tersia, tak jadi tragika, & tak menjatuhkan penulisnya dalam gelimang kemalangan? #Write

33. Saya mencermati setidaknya ada 3 kekuatan yang harus dimiliki seorang penulis menggugah; Daya Ketuk, Daya Isi, & Daya Memahamkan. #Write

34. Daya Ketuk ini paling berat dibahas; yang mericau ini pun masih jauh & terus belajar. Ia masalah hati; terkait niat & keikhlasan. #Write

35. Pertama, marilah jawab ini: 1} Mengapa saya harus menulis? 2} Mengapa ia harus ditulis? 3} Mengapa harus saya yang menuliskannya? #Write

36. Seberapa kuat makna jawaban kita atas ke-3 tanya ini, menentukan seberapa besar daya tahan kita melewati aneka tantangan menulis. #Write

37. Alasan kuat tentang diri, tema, & akibat dunia-akhirat jika tak ditulis; akan menggairahkan, menggerakkan, membakar, menekunkan. #Write

38. Keterlibatan hati & jiwa dengan niat menyala itulah yang mengantarkan tulisan ke hati pembaca; mengetuk, menyentuh, menggerakkan. #Write

39. Tetapi; tak cukup hanya hati bergairah & semangat menyala saja jika yang kita kehendaki adalah keinsyafan suci di hati pembaca. #Write

40. Menulis memerlukan kata yang agung & berat itu; IKHLAS. Kemurnian. Harap & takut hanya padaNya. Cinta kebenaran di atas segala. #Write

41. Allah gambarkan keikhlasan sejati bagai susu; terancam darah & kotoran, tapi terupayakan; murni, bergizi, memberi tenaga suci... #Write

42. ...dan mudah diasup, nyaman ditelan, lancar dicerna oleh peminum-peminumnya, menjadi daya untuk bertaat & bertaqwa (QS 16: 66). #Write

43. Maka menjadi penulis yang ikhlas sungguh payah & tak mudah; ada goda kotoran & darah; kekayaan & kemasyhuran, riya' & sum'ah. #Write

44. Jika ia berhasil dilampaui; jadilah tulisan, ucapan & perbuatan sang penulis bergizi, memberi arti, mudah dicerna jadi amal suci. #Write

45. Sebaliknya; penulis tak ikhlas itu; tulisannya bagai susu dicampur kotoran & darah, racun & limbah; lalu disajikan pada pembaca. #Write

46. Ya Rabbi; ampuni bengkoknya niat di hati, ampuni bocornya syahwat itu & ini, di tiap kali kami gerakkan jemari menulis & berbagi. #Write

47. Sebab susu tak murni, tulisan tak ikhlas, memungkinkan 2 hal: a) pembaca muak, mual, & muntah bahkan saat baru mengamati awalnya. #Write

48. Atau lebih parah: b) pembaca begitu rakus melahap tulisan kita; tapi yang tumbuh di jiwanya justru penyakit-penyakit berbahaya. #Write

49. Menulis berkeikhlasan, menabur benih kemurnian; agar Allah tumbuhkan di hati pembaca pohon ketaqwaan. Itulah daya ketuk sejati. #Write

50. Daya sentuh, daya ketuk, daya sapa di hati pembaca; bukan didapat dari wudhu' & shalat yang dilakukan semata niat menoreh kata... #Write

51. ...Ia ada ketika kegiatan menghubungkan diri dengan Dzat Maha Perkasa, semuanya; bukan rekayasa, tapi telah menyatu dengan jiwa.. #Write

52. ...lalu menulis itu sekedar 1 dari berbagai pancaran cahaya yang kemilau dari jiwanya; menggenapi semua keshalihan nan mengemuka. #Write

53. Setelah Daya Ketuk, penulis harus ber-Daya Isi. Mengetuk tanpa mengisi membuat pembaca ternganga, tapi lalu bingung berbuat apa. #Write

54. Daya Ketuk membuat pembaca terinsyaf & tergugah; tapi jika isi yang kemudian dilahap cacat, timpang, rusak; jadilah masalah baru. #Write

55. Daya Isi adalah soal ilmu. Mahfuzhat Arab itu sungguh benar; "Faqidusy Syai', Laa Yu'thi: yang tak punya, takkan bisa memberi." #Write

56. Menjadi penulis adalah menempuh jalan ilmu & berbagi; membaca ayat-ayat tertulis; menjala hikmah-hikmah tertebar. Tanpa henti. #Write

57. Ia menyimak apa yang difirmankan Tuhannya, mencermati yang memancar dari hidup RasulNya; & membawakan makna ke alam tinggalnya. #Write

58. Dia fahami ilmu tanpa mendikotomi; tapi tetap tahu di mana menempatkan yang mutlak terhadap yang nisbi; mencerahkan akal & hati. #Write

59. Penulis sejati memiliki rujukan yang kuat, tetapi bukan tukang kutip. Segala yang disajikan telah melalui proses internalisasi. #Write

60. Penulis sejati kokoh berdalil bukan hanya atas yang tampak pada teks; tapi disertai kefahaman latar belakang & kedalaman tafsir. #Write

61. Dengan proses internalisasi; semua data & telaah yang disajikan jadi matang & lezat dikunyah; pembacanya mengasup ramuan bergizi. #Write

62. Sebab konon 'tak ada yang baru di bawah matahari'; tugas penulis sebenarnya memang cuma meramu hal-hal lama agar segar kembali. #Write

63. Atau mengungkap hal-hal yang sudah ada, tapi belum luas dikenali. Diperlukan ketekunan untuk melihat 1 masalah dari banyak sisi. #Write

64. Atau mengingatkan kembali hal-hal yang sesungguhnya telah luas difahami; agar jiwa-jiwa yang baik tergerak kuat untuk bertindak. #Write

65. Maka dia suka menghubungkan titik temu aneka ilmu, penuh pemaknaan segar & baru, dengan tetap berpegang kaidah sahih & tertentu. #Write

66. Dia hubungkan makna nan kaya; fikih & tarikh; dalil & kisah; teks & konteks; fakta & sastra; penelitian ilmiah & rasa insaniyah. #Write

67. Dia menularkan jalan ilmu untuk tak henti menggali; tulisannya tak membuat orang mengangguk berdiam diri; tapi kian haus mencari. #Write

68. Ia bawakan pemaknaan penuh warna; beda bagi tiap pembaca; beda bagi pembaca sama di saat berbeda. Membaru & mengilhami selalu. #Write

69. Maka karyanya melahirkan karya; syarah & penjelasan, catatan tepi & catatan kaki, juga sisi lain pembahasan, & bahkan bantahan. #Write

70. Setelah Daya Ketuk & Daya Isi; seorang penulis kan kokoh & luas kemanfaatannya jika mampu menguasai Daya Memahamkan pada pembaca. #Write

71. Seorang penulis menggugah memulai Daya Memahamkan-nya dengan 1 pengakuan jujur; dia bukanlah yang terpandai di antara manusia. #Write

72. Sang penulis sejati juga memahami; banyak di antara pembacanya yang jauh lebih berilmu & berwawasan dibandingkan dirinya sendiri. #Write

73. Dalam hati, dia mencegah munculnya rasa lebih berilmu daripada pembacanya: "Aku tahu. Kamu tidak tahu. Maka bacalah, kuberitahu." #Write

74. Setiap tulisan & buku yang disusun dengan sikap jiwa penulis "Aku tahu! Kamu tak tahu!" pasti berat & membuat penat saat dibaca. #Write

75. Kadang senioritas atau lebih tingginya jenjang pendidikan tak sengaja melahirkan sikap jiwa itu. Sang penulis merasa lebih tahu. #Write

76. Mungkin itu menjelaskan; mengapa beberapa textbook kuliahan tak ramah dibaca. Penulisnya Prof., pembacanya belum lama lulus SMA. #Write

77. Sikap jiwa kepenulisan harus diubah; dari "Aku tahu! Kamu tak tahu!" menjadi suatu rasa nan lebih adil, haus ilmu, & rendah hati. #Write

78. Penulis sejati ukirkan semboyan, "Hanya sedikit ini yang kutahu, kutulis ia untukmu, maka berbagilah denganku apa yang kau tahu." #Write

79. Penulis sejati sama sekali tak berniat mengajari. Dia cuma berbagi; menunjukkan kebodohannya pada pembaca agar mereka mengoreksi. #Write

80. Penulis sejati berhasrat tuk diluruskan kebengkokannya, ditunjukkan kelirunya, diluaskan pemahamannya, dilengkapi kekurangannya. #Write

81. Penulis sejati jadikan dirinya bagai murid yang mengajukan hasil karangan pada guru; berribu pembaca menjelma dosen berjuta ilmu. #Write

82. Inilah yang jadikan tulisan akrab & lezat disantap; pertama-tama sebab penulisnya adil menilai pembaca, haus ilmu, & rendah hati. #Write

83. Pada sikap sebaliknya, kita akan menemukan tulisan yang berribu kali membuat berkerut dahi, tapi pembacanya tak kunjung memahami. #Write

84. Lebih parahnya; keinginan untuk tampil lebih pandai & tampak berilmu di mata pembaca sering membuat akal macet & jemari terhenti. #Write

85. Jika lolos tertulis; ianya jadi kegenitan intelektual; inginnya dianggap cerdas dengan banyak istilah yang justru membuat mual. #Write

86. Kesantunan Allah jadi pelajaran buat kita. RasulNya menegaskan surga itu tak terbayangkan. Tapi dalam firmanNya, Dia menjelaskan. #Write

87. Dia gambarkan surga dalam paparan yang mudah dicerna akal manusia; taman hijau, sungai mengalir, naungan rindang, buahan dekat.. #Write

88. ..duduk bertelekan di atas dipan, dipakaikan sutra halus & tebal, pelayan hilir mudik siap sedia, bidadari cantik bermata jeli.. #Write

89. Allah Maha Tahu, tak bersombong dengan ilmu; Dia kenalkan diriNya bukan sebagai Ilah awal-awal, melainkan Rabb nan lebih dikenal. #Write

90. Penulis sejati menghayati pesan Nabi; bicaralah pada kaum sesuai kadar pemahamannya, bicara dengan bahasa yang dimengerti mereka. #Write

91. Penulis sejati mengerti; dalam keterbatasan ilmu nan dimiliki, tugasnya menyederhanakan yang pelik, bukan merumitkan yang mudah. #Write

92. Itupun tidak dalam rangka mengajari; tapi berbagi. Dia haus tuk menjala umpan balik dari pembaca; kritik, koreksi, & tambah data. #Write

93. Penulis sejati juga tahu; yang paling berhak mengamalkan isi anggitannya adalah dirinya sendiri. Daya Memahamkan berhulu di sini. #Write

94. Sebab seringkali kegagalan penulis memahamkan pembaca disebabkan diapun tak memahami apa yang ditulisnya itu dalam amal nyata. #Write

95. Begitulah Daya Memahamkan; dimulai dengan sikap jiwa yang adil, haus ilmu, & rendah hati terhadap pembaca kita, lalu dikuatkan.. #Write

96. ..dengan tekad bulat tuk jadi orang pertama yang mengamalkan tulisan, & berbagi pada pembaca secara hangat, akrab, penuh cinta. #Write

98. Kita lalu tahu; menulis bukanlah profesi tunggal & mandiri. Ia lekat pada kesejatian hidup sang mukmin; tebar cahaya pada dunia. #Write

99. Maka menulis hanya salah satu konsekuensi sekaligus sarana bagi si mukmin tuk menguatkan iman, 'amal shalih, & saling menasehati. #Write

100. Jika ada 'amal lain yang lebih kuat dampaknya dalam ketiga perkara itu; maka kita tak boleh ragu: tinggalkan menulis menujunya:) #Write



Duhai Allah, jadikanlah tiap kata sebagai semangat untuk senantiasa penjadi pengamalnya yang pertama, menunaikan tugas sebagai seorang khalifah, menjadi salah satu bentuk ibadah yang menuai pahala, dan nama kami yang tertambat di sana, sungguh bukan agar menuai kagum dari manusia, namun agar kami senantiasa istiqamah.Aamiin.