Rabu, 27 November 2013

Jawaban di Puncak Mahameru




Judul buku          : Altitude 3676 Takhta Mahameru
Penulis                 : Azzura Dayana
ISBN                      : 978-602-8277-92-1
Penerbit              : Indiva
Ketebalan           : 416 hal
Ukuran                 : 14x20 cm
Harga buku         : Rp 62.000
 


Apa yang ada di pikiran seorang gadis sehingga rela menempuh rangkaian perjalanan panjang hanya bermodal foto-foto yang diterimanya lewat e-mail? Pertanyaan itulah yang menghantui pikiran saya sepanjang membaca buku ini. Altitude 3676 Takhta Mahameru ini ditulis dengan apik oleh Azzura Dayana dengan membawa pembaca ikut serta dalam petualangan Faras, seorang gadis lugu dari Ranu Pane di kaki gunung Semeru. Faras yang seorang tamatan SMA nyatanya bukanlah gadis desa biasa. Kegemarannya membaca buku membuatnya memiliki pemikiran yang maju dan terbuka. Ia menjadi gadis cerdas yang gemar menghapalkan larik-larik dari penyair favoritnya, Kahlil Gibran.

“Kahlil Gibran juga yang mengatakan ‘Berilah aku telinga maka aku akan memberimu suara.’ Itulah mengapa tadi kubilang, harusnya aku mendapatkan cerita, setelah kukatakan aku siap menyimak.” (Faras, hal. 93)

Gadis ini kemudian ditakdirkan berjumpa dengan seorang pemuda bernama Raja Ikhsan. Berbeda dengan Faras yang tipikal peramah dan supel, Ikhsan justru sebaliknya. Ia adalah lelaki yang tumbuh dengan menabung dendam kesumat di dadanya. Terlahir dari seorang wanita yang merupakan istri kedua, Ikhsan harus menerima kenyataan saat ternyata ayahnya justru kembali ke pelukan istri pertamanya. Tidak hanya sampai di situ, istri tua ayahnya itu terus meneror ibunya yang dianggap sebagai perusak rumah tangga mereka. Tidak heran jika kemudian pemuda ini memiliki sepuluh alasan untuk membunuh ayahnya sendiri, lelaki yang ia anggap menjadi penyebab segala penderitaan yang ia alami. Juga tentu saja membalas teror kepada istri ayahnya yang disinyalir telah menyebabkan ibunya bunuh diri.

Tidak cukup dengan dua tokoh yang bersebrangan kepribadian itu, penulis juga menampilkan Mareta, seorang gadis kaya yang hidup dengan segala modernitasnya. Pertemuannya yang tidak terduga di Borobudur dengan Faras justru mengantarkan keduanya menjadi rekan seperjalanan hingga tiba di Bira, sebuah daerah di Sulawesi Selatan. Mareta,  cewek metropolitan itu tentu nampak bagai langit dan bumi dengan Faras yang berjilbab rapi dengan tutur kata yang terjaga.

Ketiga tokoh ini terlibat dalam rangkaian cerita yang disajikan dengan alur maju-mundur dan sudut pandang Faras, Mareta, dan Ikhsan secara bergantian. Tiga kepribadian berbeda yang ternyata terhubung pada satu benang merah. Tiga sudut pandang ini memberikan ruang kepada pembaca untuk lebih menyeksamai tiap karakter tokoh-tokoh tersebut, serta memandang setiap kejadian di dalam cerita lewat angel yang berbeda-beda. Hal ini membuat pembaca memiliki pengetahuan yang utuh tentang berbagai konflik di dalam novel ini.

Perjumpaan antara Ikhsan dan Faras yang hanya terjadi tiga kali saat Ikhsan hendak mendaki Semeru rupanya menjadi asal muasal dari cerita ini. Selanjutnya, hubungan yang aneh –kadang manis, namun bisa berubah menjadi dingin, antara Faras dan Ikhsan kemudian terus berlanjut lewat cara yang tidak kalah anehnya; e-mail satu arah dari Ikhsan yang berisi foto-foto tempat yang ia dikunjungi selepas perpisahannya dengan Faras di Ranu Pane. Atas dasar itulah, Faras menelusuri jejak Ikhsan hingga pergi ke Borobudur, menyebrang ke Pulau Sulawesi menuju Bira di Bulukumba, lalu kembali lagi ke kampung halamannya di kaki gunung Semeru.

Satu per satu kejadian yang melatarbelakangi cerita ini terkuak di setiap lembaran bukunya. Pembaca pun dikocok emosinya lewat ketegangan demi ketegangan saat mengikuti hidup Ikhsan yang keras dan penuh dengan rencana sadis. Pada satu titik mungkin pembaca pun akan ikut kebingungan pada kepribadian Ikhsan yang tiba-tiba berubah menjadi begitu peduli dan bijaksana pada sebuah keluarga di Bira yang menjadi sedemikian suram ketika kehilangan dua anak mereka. Anak gadis yang dibawa pergi oleh kekasihnya karena tidak direstui oleh keluarganya, dan yang lelaki mati muda saat mengejar pemuda yang membawa lari adik perempuannya itu. Tragedi itu berkaitan dengan aturan adat guna menjaga kehormatan keluarga mereka. Jika pembaca tidak jeli mengikuti ‘penjelasan dari penulis’ lewat flashback kejadian sebelum peristiwa tersebut, mungkin pembaca akan menilai adanya inkonsistensi dalam penggarapan karakter Ikhsan. Mengapa seolah-olah dengan mudahnya warna hati pemuda itu menjadi berubah?

Berbagai ketegangan dari kehidupan Ikhsan yang begitu semrawut akan tercairkan saat mengikuti tiap deskripsi setting yang dipaparkan dengan detail oleh sang penulis. Dalam hal ini, terasa betul betapa penulis sangat menguasai latar tempat yang ia gunakan. Keindahan Borobudur, eksotisnya Bira, kebudayaan dan sejarah suku Bugis yang gagah berani, bahkan tentang adat yang masih dipegang kokoh oleh sebagian masyarakatnya, serta keelokan pemandangan alam yang disuguhkan dalam pendakian menuju Puncak Mahameru. Penulis yang juga seorang backpacker dan gemar panjat gunung ini, juga menuturkan dengan apik tentang berbagai tetek bengek pendakian Semeru yang seru dan menegangkan. Selain itu, di beberapa bagian buku ini juga mengutip petikan syair nasyid dan lagu, serta sajak-sajak yang memesona dan menyimpan makna mendalam.

Menjadi air harus menjadi ricik. Sampai-sampai hujan yang kesekian kerap juga menemani perjalanan cinta kita. Hujan di langit itu. Hujan di matamu” Sajak Kecil tentang Cinta, Sapardi Djoko Damono. (Faras, hal. 113).

Layaknya ciri khas buku terbitan Indiva yang lain, buku ini juga tidak melulu hanya berupa rangkaian cerita tanpa makna. Idealisme dan nilai-nilai religius dan spiritual juga terasa kental di dalamnya.

“Kata apa lagi yang sanggup kami ungkapkan untuk memuji Allah,” tambah Faras dalam gumamnya. “Untuk semua kehebatan penciptaan ini. Padahal Mahameru baru satu bagian kecil saja dari seluruh ciptaanNya di semesta raya.” (Faras, hal 413)

Bahkan, hubungan antara Faras dan Ikhsan juga tidak dieksplorasi dari sudut romantika belaka, namun lebih kepada tanggung jawab antar sesama muslim untuk saling menasihatkan kepada kebaikan. Namun, hal ini bisa saja justru menjadi sebuah bumerang, saat pembaca akhirnya bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya perasaan antara Faras dan Ikhsan? 

 
Ya, tak ada gading yang tak retak. Setidaknya, saya menemukan sebuah kejanggalan dalam novel bercover pemandangan ‘negeri awan’ dari atas gunung ini. 

Iya, saking sayangnya aku padanya, sampai aku ingin kubunuh suaminya.” (Ikhsan, hal.115). Kalimat ini tentu lebih enak dibaca jika kata ‘aku’ yang kedua dihilangkan. Semoga ini hanya kesalahan pengetikan belaka.


 Lalu, apa sebenarnya hubungan Mareta dengan Ikhsan? Dan mengapa Faras tidak kunjung menemukan Ikhsan meski telah mengikuti petunjuk foto dalam e-mail yang ia terima? Apa yang hendak disampaikan gadis itu hingga rela menempuh perjalanan yang begitu jauh? Dan sanggupkah Ikhsan menanggalkan semua kebencian dan dendam yang ia pelihara?

Begitu jauh para tokoh ini melanglang buana. Namun, layaknya kehidupan, terkadang jawabannya justru ditemukan pada titik mula. Maka semua pertanyaan itu pun terkuak di Ranu Pane dan terjawab dengan tuntas di ketinggian 3676 meter di atas permukaan laut, di Puncak Mahameru.

Lewat Altitude 3676 Takhta Mahameru ini, Azzura Dayana berhasil mengusung nilai-nilai kehidupan yang dipaparkan dengan begitu halus dan cerdas, plus dengan gaya bertutur yang indah dan tidak menggurui. Karena itulah, novel ini tentu sangat layak untuk dibaca dan direnungi. Selamat!