Sabtu, 31 Maret 2012

Blogshop N5M: Penulis pun Harus Bersemangat Man Jadda Wajada!

Akhirnya tiba juga hari yang ditunggu-tunggu. Pagi ini matahari bersinar cukup cerah. Lengkap dengan gumpalan awan yang sesekali berarak mengikuti arah angin. Hari terakhir di bulan Maret ini adalah jadwal event Blogshop Kompasiana yang dirangkaikan dengan roadshow Negeri Lima Menara. Tapi, pergulatan batin saya dimulai ketika ibu mulai menanyakan rencana saya hari ini. Setelah mengatakan bahwa hari ini saya akan ada kegiatan, mimik wajah ibu berubah.

“Tiap hari libur, selalu saja ada kegiatan! Sekali-sekali tinggallah di rumah…” ujar Ibu tanpa menatap wajah saya.

Seketika, semangat yang sudah meletup sejak sukses register di page event ini, memudar seketika. Apalagi mengingat bahwa besok pun saya ada kegiatan yang cukup penting dan tidak bisa ditinggalkan. Maka, pilihan untuk batal mengikuti acara ini pun mulai muncul di benak saya. Namun, saya langsung sadar; jarang-jarang di Makassar ada acara seputar kepenulisan yang dihadiri oleh seorang penulis nasional, terkenal pula! Rasa-rasanya, saya akan menyesal jika melewatkan kesempatan yang terbatas ini.

Maka, setelah sempat carmuk (cari muka, red) pada ibu, meski harus agak memhabiskan waktu dan mengacaukan schedule yang sudah saya ancang-ancang dari semalam, saya pun akhirnya memberanikan diri untuk melakukan lobi.

“Hari ini, ada penulis terkenal yang mau datang lho…” ucap saya pada ibu, lengkap dengan puppy-eyes.
 
Ibu menatap saya, ia hapal betul dengan tingkah macam itu. Dan ibu tahu bahwa minat saya di dunia kepenulisan memang sudah cukup merasuk jiwa. Maka, meski tidak berucap apa-apa, saya mengerti bahwa tatapan mata itu adalah pertanda dari sebuah restu untuk bisa ikut blogshop kali ini. Yay!
***
Terinspirasi dari tayangan televisi yang masih hot membahas perihal hasil sidang harga BBM semalam, maka sebelum menuju kamar mandi, saya mencoba untuk nangkring di depan laptop dulu. Kepala saya sudah dipenuhi dengan kata-kata yang ingin saya rangkai menjadi tulisan setelah melihat berita-berita di TV tadi. Akhirnya, tulisan berjudul “Surat kepada Ibu Pertiwi” pun tuntas dalam seperempat jam. Setelah posting ke blog, fb, multiply, dan akun kompasiana, saya lalu beranjak untuk bergegas bersiap. ‘Lobi-lobi politik’ dengan Ibu tadi memang memakan cukup banyak waktu, dan saya telah positif bakal terlambat tiba di ‘TKP’. Nah, sebelum benar-benar meninggalkan rumah, saya sempatkan untuk menengok kembali akun Kompasiana; mengecek bagaimana perkembangan tulisan yang baru saya posting. Alhamdulillah, ternyata masuk kolom highlight. Padahal, mungkin seperti beberapa kawan lainnya, akun ini awalnya saya buat ‘cuma’ untuk ikut acara blogshop. Hehehe…

Sekitar setengah jam, saya pun tiba di Gedung BI. Casio yang melingkar di tangan saya menginformasikan bahwa saya sudah telat cukup parah, sekitar satu jam lebih! Hmm..,setidaknya masih lebih baik daripada tidak datang sama sekali, khan? Tapi, imbasnya, saya harus ikhlas untuk dapat posisi duduk di belakang (yang lumayan bikin disorientasi, hehehe…) dan tidak lagi kebagian souvenir berupa kaos kompasiana yang dengan bangga ditenteng oleh para peserta lain. Heu…

Saya memasuki ruangan acara. Sebuah ruangan yang nyaman dengan dominasi warna coklat muda di dalamnya. Terdapat hiasan perahu pinisi kebanggaan suku bugis dan lukisan besar di beberapa sudut. Meja-meja bundar yang dikelilingi oleh para peserta nampak tersebar di ruangan itu. Lengkap pula dengan colokan listrik yang mempermudah peserta yang membawa serta gadgetnya, sesekali ada saja peserta yang Nampak tersandung colokan-colokan itu.

Acara hari ini disponsori oleh iB Perbankan Syari’ah. iB adalah singkatan dari Islamic-Banking, atau yang lebih kita kenal dengan istilah Bank yang berbasis syari’ah. Saat ini, antusias masyarakat kepada bank-bank syariah memang terlihat cukup baik. Meski, produk yang ditawarkan sebenarnya hampir mirip dengan produk bank konvensional, namun sistem syariah yang berada di dalamnya insyaAllah akan memberi ketenangan tersendiri kepada nasabah. Mungkin, itu yah yang membuat mereka betah! Saya bersyukur, bahwa iB Perbankan Syariah ini berkenan untuk mensponsori program-program acara yang penuh manfaat dan menarik seperti blogshop Kompasiana ini! ^_^

Bernarasi bersama Kang Pepi
1333211674966923041
Kang Pepi sharing tentang narasi

Pada saat tiba di ruangan, ternyata acara sudah memasuki sesi yang ketiga. Pada bagian ini yang menjadi pemateri adalah Kang Pepi Nugraha. Pada awal materi, beliau menceritakan tentang kedekatannya dengan Kota Makassar. Selanjutnya, dengan fasih Kang Pepi menyebutkan nama-nama penyanyi lokal Makassar dan banyak menyinggung tentang beberapa tempat dan budaya yang ada di Makassar. Oh iya, Kang Pepi juga memberikan tips untuk memecahkan kebuntuan menulis pada para peserta!

“Menulislah seperti bagaimana kita bercakap, bukan seperti bagaimana orang lain menulis”, pungkas pria asal Jawa Barat ini.

Ya, sudah seharusnya proses menulis pun kita sederhanakan. Sebab, kita menulis bukan untuk diri sendiri, tapi untuk dimengerti oleh orang lain. Maka, tidak usah memutar otak untuk memikirkan hal-hal yang ribet jika pada akhirnya pembaca tidak menangkap apapun dari yang kita tulis. Sederhanakan saja, lalu temukan proses kreatif dan ciri khas tulisan kita sendiri! Kang Pepi juga menekankan untuk selalu melibatkan emosi dalam menulis. Dalam hal ini, bukan berarti menulis itu harus dikerjakan sambil marah-marah, yah… Tapi, perasaan apapun yang kita rasakan, sebisa mungkin juga turut terwakilkan pada tulisan kita, sehingga akan terciptalah tulisan yang tidak membosankan. Tulisan yang berisi suara hati juga bisa mencerminkan kepribadian kita saat menulis, lho!

Materi Kang Pepi sendiri sebenarnya berfokus tentang narasi. Lewat slide-slide yang ditampilkan, jurnalis yang dalam kesempatan tersebut mengenakan jaket yang matching dengan warna ruangan itu, banyak memaparkan tentang teori-teori seputar tulisan jenis narasi ini. Mulai dari ciri-cirinya, tujuannya, kriterianya, juga bagian-bagian yang harus ada dalam sebuat tulisan yang naratif. Beliau juga memberikan contoh seputar komponen-komponen dalam sebuah narasi. Tidak ketinggalan pula tentang pembahasan mengenai sudut pandang dalam sebuah tulisan.

Sudut pandang orang pertama yang menggunakan kata sejenis ‘aku’, dan sudut pandang orang ketiga yang menggunakan kata ganti orang ketiga pula. Para peserta Blogshop Kompasiana hari itu kebanyakan lebih sering menggunakan sudut pandang yang pertama. Meski, menurut Kang Pepi, sebenarnya lebih aman menggunakan sudut pandang orang ketiga yang memang lebih sering dipakai dalam naskah narasi. Selain itu, sudut pandang ini juga cukup netral dan terbebas dari ‘jebakan narsis’. Tapi bagi saya, selama kita nyaman dan bisa membuat tulisan dengan perasaan hati yang enak, rasanya sudut pandang apa saja akan menjadi lumrah. Ini menurut saya yah…

Kopdar dan Hunting Posisi Strategis
Di masa istirahat selepas menyantap hidangan yang disediakan oleh panitia dan menunaikan shalat Dhuhur, saya kembali ke ruangan acara yang nampak masih ramai dengan peserta yang lalu lalang. Saya mengarahkan pandangan ke arah panggung dan langsung mendapati ‘gerombolan’ Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) tempat saya juga bergabung dalam grupnya di Facebook. Meski masih tergolong ‘calon ibu’ *halah* saya senang sekali bisa bergabung dengan komunitas ini. Selain karena lebih nyaman karena membernya perempuan semua, banyak pula info-info seputar kepenulisan yang saya dapatkan di sana. Termasuk info blogshop kali ini. Maka saya pun menyempatkan diri bergabung dengan mereka, meski terasa agak canggung, sebab ini adalah kali pertama saya muncul dalam wujud nyata. Hehehe…

Selanjutnya, saya pun membidik seorang junior yang nampak pewe (posisi weenak, red) di kursinya. Tempatnya lumayan strategis untuk menerima materi dan mengambil gambar. Maka setelah lobi-lobi politik lagi, ternyata di sana masih ada satu kursi kosong yang bisa saya tempati. Berhasil! Saya pun memilih hijrah dari posisi awal ke tempat baru yang lebih baik.

1333212089742375357
Kuisnya seru, pesertanya kreatif; Asyik!

Ahmad Fuadi: Membela Impian dengan Menulis
Setelah menunggu sambil ngobrol dengan teman-teman baru di meja tersebut dan ketawa-ketiwi menyaksikan kuis-kuis yang lumayan unik, akhirnya yang dinantikan datang juga! Seorang pria berkacamata dengan kemeja biru kotak-kotaknya. Sosok ini sebelumnya hanya dapat saya saksikan di sampul belakang dalam buku yang ia tulis. Ya, dialah Ahmad Fuadi, penulis Negeri Lima Menara dan Ranah Tiga Warna!

13332122481824702998
Akhirnya datang juga! ^_^

Senang sekali rasanya bisa menyaksikan beliau secara langsung, apalagi ditambah dengan materi tentang kepenulisan darinya. Di awal, Bang Ahmad Fuadi memutarkan video tentang perjalanan buku Negeri Lima Menara dan backpacking beliau menjelajahi berbagai macam kota di dunia, plus dengan penghargaan-penghargaan yang didapatkan dari hasil karyanya. Peserta juga disuguhkan dengan proses awal hingga akhirnya novel pertamanya berhasil difilmkan, dan jalannya syuting film Negeri Lima Menara mulai dari Pesantren Gontor hingga ke Inggris.

Bang Fuadi memberikan motivasi tentang pentingnya seseorang menulis, juga bahwa sebagai penulis, kita harus paham mengapa seseorang ingin membaca. Maka alasan semisal; untuk mengetahui, untuk menghibur, dan untuk melepaskan diri dari kepenatan kehidupan nyata, harus bisa di-cover oleh seorang penulis agar dapat membuat tulisan yang ingin dibaca oleh orang lain.

Sebutir peluru mungkin bisa menembus sebuah kepala, namun satu kata bisa menembus ratusan bahkan jutaan kepala dalam satu waktu bersamaan” ucap Bang Fuadi untuk semakin meyakinkan para peserta agar lebih bergiat dalam menulis.
 
Nah, rupanya menulis juga bisa membuat kita awet muda dan akan terus dikenang, lho! Sebab, setiap jiwa akan merasakan mati. Setiap manusia memiliki limitnya masing-masing. Tapi, jika kita meninggalkan kenangan berupa tulisan, tulisan itu akan terus hidup, meski kita telah tiada. Bang Fuadi menyebut sebuah nama; Ibnu Rushd, seorang filsuf Islam di abad kedua belas itu. Maka sebenarnya, kita punya cukup banyak nama semisal: Imam Bukhari, Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah, HAMKA, Rendra, dan masih banyak nama lainnya, yang mungkin kini jasadnya telah terkubur, namun kita masih dapat merasakan keberadaan mereka lewat karya-karya mereka. Lewat tulisan-tulisan mereka! Maka ya, diri kita boleh saja tua, boleh saja mati. Tapi, tidak dengan tulisan kita! Maka semoga tulisan yang tetap ‘kekal’ itu bisa menjadi jalan bagi kita untuk menjadi manusia terbaik; manusia yang paling banyak manfaatnya!

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat” demikian sabda Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam dalam riwayat Thabrani dan Daruquthni.

Bang Fuadi bercerita, bahwa begitu banyak mimpinya yang menjadi nyata lewat tulisan. Tentang bagaimana ia menyambung hidup lewat honor menulis. Dan pada akhirnya, ia yakin bahwa inilah salah satu jalan untuk memberikan manfaat bagi banyak orang. Terbukti, Bang!

Proses Kreatif ala Bang Fuadi
13332123871550929827
Setiap orang menulis dengan caranya masing-masing. Hargai caramu sendiri!

Setidaknya ada empat poin besar yang dipaparkan oleh Bang Fuadi seputar proses menulis yang beliau jalankan. Keempatnya terangkum dalam empat buah kata tanya:
 
Why? Pertanyaan ini akan menjawab niat dan tujuan kita dalam menulis. Untuk Bang Fuadi sendiri, hadits Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam di atas yang beliau dengar dari ustadz di Gontor, menjadi lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaan ini. Maka, niat yang lurus dalam menulis akan menjadi suntikan stamina yang tidak akan pernah putus. Memberikan semangat pada saat mulai malas, dan menjadikan kita selalu berupaya mencari jalan untuk tetap konsisten dalam menulis.

What? Mengenali, peduli, senang, dan familiar dengan tema yang akan kita tulis bisa menjadi obat kuat dalam tulisan. Tulisan akan muncul dari dalam hati, dan semoga pun akan sampai ke hati!

How? Mengetahui sebanyak-banyaknya informasi tentang apa yang akan kita tulis, bukan hanya akan membantu untuk melancarkan arus ide, tapi juga membuat tulisan menjadi lebih dalam. Referensi bisa didapatkan dari buku lain dan riset-riset, termasuk juga dari kamus!

“Kapan terakhir kali baca kamus?” pertanyaan Bang Fuadi itu menghentak kesadaran saya. Hmm…, penulis yang baik memang seharusnya rajin membuka kamus. Sebab, kamus akan menambah perbendaharaan kata dan akan memberikan variasi pada setiap tulisan. Ini akan membuat tulisan menjadi lebih baik, sebab tidak banyak pengulangan kata di dalamnya.

Bang Fuadi sendiri, dalam proses menulis Negeri Lima Menara, kembali membongkar tumpukan diari lama, surat-suratnya kepada ibunda, sampai buku tulis yang digunakan saat hari pertama di Gontor dulu. Mau tahu catatan apa yang pertama dituliskannya? Yup, mantera sakti: man jadda wajada!

When? Tidak ada waktu, sibuk kuliah atau kerja, ribet dengan pekerjaan ini dan itu, dan sederet alasan lainnya terkadang menjadi salah satu sebab terjadinya kebuntuan dalam menulis. Maka kapankah waktu terbaik untuk menulis? Ya, saat ini! Seseorang yang memang ingin serius di bidang kepenulisan, sudah seharusnya melowongkan waktu untuk kegiatan menulis, bukan hanya sekadar memberikan porsi ‘waktu sisa’ untuk membuat karya. Konsistensi dalam jadwal menulis tersebut juga perlu dilatih kedisiplinannya. Tidak harus menulis dalam jumlah banyak, yang penting kontinyu. Dalam bagian ini pula, Bang Fuadi menggulirkan sebuah pepatah baru: Sedikit semi sedikit, lama-lama menjadi buku!

Kesemua proses menulis ini, jika dijalankan dengan disiplin dan konsisten, insyaAllah akan berbuah sebuah tulisan yang baik. Bang Fuadi menasihatkan untuk tidak langsung berfokus agar tulisan bisa laku. Sebab, banyak tulisan yang laku, meski belum tentu baik. Namun, sebuah tulisan yang baik, insyaAllah akan laku. Nah, bukankah hanya tulisan yang baik yang bisa mendatangkan kemanfaatan?

Oh iya, ada yang menarik dari sesi tanya jawab. Saat seorang peserta dari Ambon dipersilakan untuk mengambil alih mic. Beliau bertutur tentang anaknya yang baru saja lahir hari itu (konon berencana diberi nama Ahmad Fuadi pula!), juga tentang harapannya bahwa kelak akan ada penerus Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, dan penulis hebat lainnya yang bisa lahir dari tanah Makassar. Saya mendengarkan hal itu sambil terus mengaminkan dalam hati, semoga budaya literasi di kampung halaman saya ini bisa terus berkembang. Aamiin…

Pada akhirnya, mungkin sederet materi yang diberikan dalam blogshop ini bisa dengan mudah kita dapatkan di buku ataupun artikel di internet. Tapi, bagi saya pribadi, yang menjadi inti dari acara ini adalah tentang semangat yang tercipta setelah pulang dari gedung BI tadi. Tentang sindrom positif yang akan merasuk kepada setiap peserta untuk lebih semangat lagi dalam menulis. Kita telah menyaksikan begitu banyak tokoh yang terkenal dan menebar manfaat lewat tulisan-tulisannya yang berkualitas. Tapi, kita pun harus sadar, bahwa itu semua mereka dapatkan tidak dengan cara yang instan. Pasti ada kerja keras yang besar di dalamnya. Maka untuk menjadi penulis yang sukses pun, rasanya tidak salah jika kita meminjam mantera dari para shahibul menara: Man Jadda Wajada!

Minggu, 11 Maret 2012

~Rasa Bahasa~


SisiRajin: Din, setelah nulis ini, langsung lanjut kerja tugas makalahmu yaah../ SisiSantai: Okeh, okeh.. Hehehe...

-----------------------------------------------------------------------------------------

Teman-teman, kali ini saya ingin share tentang masalah rasa bahasa. Rasa bahasa dalam definisi saya adalah masalah bagaimana mengungkapkan hal-hal tertentu lewat bahasa tulisan. Rasa bahasa bukan saja terkait dengan diksi (pemilihan kata), tapi -setidaknya bagi saya, berhubungan erat dengan pemilihan tanda baca, pemilihan huruf kapital, bahkan masalah italic, bold, atau underline-nya sebuah teks.

Saya terlahir dan tertakdir untuk hidup akrab dengan dunia literer. Kamar pertama saya adalah bekas perpustaskaan bapak yang ditambahkan tempat tidur kecil dan meja belajar bekas. Benda yang rutin dibelikan kepada saya bersaudara adalah buku cerita tiap bulan setelah bapak gajian. Dan dimasa kecil, benda berharga bagi saya adalah lembaran kertas HVS yang bisa saya gunakan untuk menulis cerita atau membuat komik. Belakangan, baru saya ketahui, bahwa pertemuan kedua orang tua saya pun terajut secara apik lewat lembar-lembar surat yang dilayangkan bapak kepada ibu pada masa pedekate mereka. (Stt..jangan bilang siapa-siapa yaah.. hehehe...)

Maka, ya, saya telah terbiasa dengan kata-kata sejak lama. Maka, saya pun tumbuh dengan tingkat sensitivitas 'rasa bahasa' yang cukup 'parah'. Untungnya, hal itu kemudian bisa saya kendalikan dengan memahami bahwa tidak semua orang memiliki rasa bahasa yang sama. Tapi, saya kadang tetap kecolongan. Misalnya saja, kejadian saat masa KKN ini:

Seorang teman seposko telah duluan melakukan kegiatan pendataan hingga titik yang cukup jauh. Saya yang waktu itu masih stay di posko kemudian menerima smsnya. Saya pun mengabarkan bahwa personel posko kami sebagian besar masih pada santai dan belum beranjak untuk turut mendata. Nah, kawan ini kemudian mengeluh, lewat bahasa sms, beliau menuliskan kekecewaan dan protes kepada saya yang dia anggap kurang bisa mengkoordinasi teman-teman, setidaknya itu yang bisa saya tangkap dari bahasa tulisannya. Akibatnya, saya kemudian memaksakan untuk segera mendata, meski dalam situasi yang sebenarnya kurang begitu pas. Setelah kembali ke posko, saya baru sadar, ternyata kawan tadi tidak sedang benar-benar 'marah'. Dia malah mengaku hanya bercanda dan tidak sejatinya mengeluh lewat sms tadi. Namun, rasa bahasa yang saya tangkap berbeda, dan saya salah.

Sensitivitas pada rasa bahasa ini membuat saya kemudian menjadi kurang 'nyaman' dengan deretan kata-kata yang diakhiri dengan tanda seru; bagi saya, itu bermakna teguran keras, kemarahan, dan bentakan. Saya pun terganggu dengan penggunaan tanda tanya yang lebih dari tiga, bagi saya itu berlebihan. Apalagi, dengan penggunaan koma yang berderet-deret, bagi saya itu adalah pemborosan tanpa makna. Pun termasuk dengan deretan titik-titik panjang yang bagi saya tidak ada artinya. Dan huruf kapital pada seluruh kata adalah lambang teriakan keras, apalagi kalau diakhiri dengan tanda seru juga!

Maka kemunculan komunitas 4L4Y yang heboh dengan kombinasi huruf kecil dan kapital yang berantakan, belum lagi dengan sisipan angka dan simbol-simbol yang menggantikan huruf, JELAS membuat saya sangat tersiksa. Grrr....

Tapi kemudian saya sadar, bahwa memang tidak semua orang sama. Tidak semua orang 'tidak nyantai' seperti saya yang mungkin agak heboh dalam menanggapi hal ini. Beberapa orang terbiasa menggunakan tanda seru meski ia tidak sedang ingin menyeru. Yang lainnya memang hobi menggunakan deretan panjang koma dan tidak mempermasalahkannya. Dan anak-anak alay itu, saya akhirnya mengerti, bahwa dibutuhkan 'kerja ekstra' untuk dapat membuat deretan kata sebagaimana ciri khas mereka menuliskannya. Iy44 gaKk sYiicH... *kalimat terakhir membutuhkan waktu lama untuk membuatnya. Yah, menjadi alay ternyata butuh pengorbanan :p

Maka pada akhirnya, rasa bahasa kembali kepada individu masing-masing. Dan kita yang hidup berdampingan dengan manusia lain, dengan kebutuhan komunikasi lewat tulisan yang semakin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi, agaknya memang memerlukan toleransi ekstra terhadap manusia lain, agar dapat tetap dapat saling memahami, dan menerima pesan dengan lebih baik, tanpa ada kesalahan persepsi yang berarti. Semoga yah...