Judul : Takbir Rindu di Istanbul
Penulis : Pujia Achmad
Penerbit : Puspa
Populer, Grup Puspa Swara
Terbit : Cetakan 1, 2013
ISBN
:
9786028290937
Cover
: Soft Cover
Tebal
: 324 hal.
Harga : Rp. 55.000,-
Cinta sejati akan menemukan jalannya sendiri.
Mungkin sebaris kalimat di atas cukup tepat untuk menggambarkan novel besutan Pujia Achmad, Takbir Rindu di Istanbul. Novel dengan nuansa Islam yang sangat kental ini mengisahkan tentang sosok Zaida, seorang gadis yang cantik dan berakhlak baik. Cerita ini diawali dengan pertemuannya dengan seorang kawan lamanya yang bernama Ilham. Ada perasaan di masa lalu yang kembali terkuak oleh perjumpaan tanpa sengaja itu. Perasaan yang sebenarnya beraroma sama yang dipendam oleh kedua aktivis dakwah tersebut. Maka perjumpaan itu menjadi gerbang yang mengantarkan langkah Ilham untuk meminang Zaida. Gadis ini bahkan nyaris mengubur mimpinya untuk melanjutkan sekolah ke Belanda meski permohonan beasiswa yang ia ajukan sudah berhasil ia dapatkan.
Tapi takdir berkata lain. Pembaca akan dibawa pada pergolakan batin Zaida saat akhirnya ia justru mundur dan memutuskan untuk menolak pinangan Ilham, lelaki yang sebenarnya ia harapkan dapat menjadi imamnya seumur hidup. Fakta bahwa Zaida bukanlah seorang penghapal al Qur’an seperti calon yang diajukan orang tua Ilham membuatnya bukan kehilangan kesempatan untuk menjadi pendamping Ilham, tapi juga kehilangan kepercayaan dirinya sebagai seorang wanita. Rasa mindernya itu lalu ia jadikan sebagai pelecut semangat untuk memulai berikhtiar agar bisa menjadi seorang hafidzah. Namun, mimpinya itu menjadi kandas setelah terjadinya sebuah ‘insiden’ yang membuyarkan konsentrasinya di pesantren tempat ia belajar untuk menghapalkan al Qur’an.
Cerita kemudian bergulir hingga akhirnya Zaida menapakkan kaki di bumi Belanda. Zaida yang kemudian memutuskan untuk melanjutkan kuliah S2 di Rotterdam sambil tetap berusaha menghapalkan al Qur’an kembali akan menghadapi berbagai macam konflik batin di negeri orang tersebut. Di Rotterdam, Zaida pun menemukan cintanya, seorang pemuda shalih bernama Salman yang sanggup mengalihkan dunianya dari sosok Ilham yang juga telah menikah. Namun, bukan kisah cinta namanya jika ia tidak diuji. Ujian itu datang dengan kemunculan Marijne, wanita Belanda yang jatuh hati pada Salman. Cerita ini pun semakin seru saat ternyata kisah cinta masa lalu antara Ilham dan Zaida masih menyisakan bekas-bekas yang menyeruak dengan tiba-tiba tepat saat mereka kembali dipertemukan di kota Istanbul.
Kepada siapakah cinta sejati Zaida yang sebenarnya? Bagaimana ia menata hatinya saat rumah tangganya dilanda ancaman keretakan sementara lelaki dari masa lalunya ditakdirkan berjumpa dengannya? Dan bagaimanakah kisah ini ditutup saat ternyata tidak semua yang direncanakan oleh setiap tokohnya dapat terjadi sesuai dengan yang mereka inginkan?
Temukanlah jawabannya dalam novel setebal 320 halaman ini. Cerita di dalamnya akan membawa kita ikut menyeksamai keindahan Rotterdam yang digambarkan dengan apik dan jauh dari kesan ‘tempelan’. Hal ini sangat wajar, sebab penulisnya pun memang pernah menempuh pendidikan di kota tersebut. Kita juga akan diantarkan pada suasana kota Istanbul di Turki yang memesona, meski masih perlu untuk dieksplorasi lebih dalam lagi. Aroma Islami yang kental juga sangat terasa dari kehidupan para tokohnya, baik yang berupa simbol-simbol yang dekat dengan dunia aktivis Islam, pun dengan nilai-nilai Islam yang tersirat dengan halus dan jauh dari kesan menggurui.
Beberapa konflik-konflik pendukung yang juga turut dihadirkan oleh penulis
di novel ini menjadi semacam simpul-simpul kecil yang akan menghubungkan satu
bagian dengan bagiannya yang lain. Kehati-hatian dalam merangkai cerita-cerita
tersebut tentu perlu untuk diperhatikan agar tertuturkan dengan logis untuk
menghindari kesan terlalu-kebetulan
yang akan membuat pembaca akan mengernyitkan kening. Sosok tokoh-tokohnya juga
digambarkan begitu manusiawi dan tidak terlalu ‘bernuansa-langit’, Zaida misalnya,
bukan hanya digambarkan sebagai sosok yang shalihah, cantik, dan cerdas. Namun
di beberapa titik ia pun tidak luput dari rasa kecewa, kecurigaan, bahkan rasa
putus asa. Hal ini membuat kita tidak hanya akan melulu terkagum-kagum, tapi
juga akan ikut geregetan saat membersamai kisah ini.
Tapi bagaimanapun, tetap terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
terutama dalam hal kesalahan pengetikan. Pada halaman 82, terdapat kesalahan
pengetikan nama Salman menjadi Salam, tentu yang ini masih tidak begitu
mengganggu. Namun, di halaman sebelumnya, kesalahan terjadi dengan cukup fatal
pada paragraf kelima di halaman 81;
“Jumlah laki-laki lebih banyak daripada wanita. Ia akan memilih wanita lain kalau kamu tidak mau merespon. Mau bukti?”
Dengan melihat deretan kalimat di atas kita tentu akan sadar bahwa terjadi kesalahan penempatan antara kata laki-laki dan wanita. Keduanya tertukar! Hal yang sama juga ditemui pada halaman 250;
“Sementara itu, Salman dan Hamidah tak sadar kalau Zaida telah pergi dari rumahnya”
Jika kita membaca cerita di part itu secara keseluruhan, kita tentu akan menemukan bahwa seharusnya bukan nama Salman yang terketik di sana, tapi nama Ilham, yang saat itu memang berada di adegan tersebut. Kesalahan teknis seperti ini semoga dapat direvisi pada cetakan-cetakan berikutnya.
Namun, terlepas dari kekurangan yang tentu tidak akan luput dari setiap karya, kehadiran novel ini patut untuk diapresiasi. Setidaknya, ditengah kondisi jaman dimana batas pergaulan antara lelaki dan perempuan yang semakin tidak terkendali, novel ini menawarkan gambaran bahwa konsep interaksi Islam adalah jalan yang selamat dan dapat menjaga kehormatan setiap manusia. Bahwa cinta yang hadir di hati belum tentu akan menjadi cinta sejati. Namun, keikhlasan dalam menjalani takdir dengan sebaik-baiknya cara, adalah satu jalan untuk menemukan kesejatian cinta. Anda tidak percaya? Ikuti saja kisahnya!