Akhirnya tiba juga hari
yang ditunggu-tunggu. Pagi ini matahari bersinar cukup cerah. Lengkap
dengan gumpalan awan yang sesekali berarak mengikuti arah angin. Hari
terakhir di bulan Maret ini adalah jadwal event Blogshop Kompasiana yang
dirangkaikan dengan roadshow Negeri Lima Menara. Tapi, pergulatan batin
saya dimulai ketika ibu mulai menanyakan rencana saya hari ini. Setelah
mengatakan bahwa hari ini saya akan ada kegiatan, mimik wajah ibu
berubah.
“Tiap hari libur, selalu saja ada kegiatan! Sekali-sekali tinggallah di rumah…” ujar Ibu tanpa menatap wajah saya.
Seketika, semangat yang sudah meletup sejak sukses register di page event
ini, memudar seketika. Apalagi mengingat bahwa besok pun saya ada
kegiatan yang cukup penting dan tidak bisa ditinggalkan. Maka, pilihan
untuk batal mengikuti acara ini pun mulai muncul di benak saya. Namun,
saya langsung sadar; jarang-jarang di Makassar ada acara seputar
kepenulisan yang dihadiri oleh seorang penulis nasional, terkenal pula!
Rasa-rasanya, saya akan menyesal jika melewatkan kesempatan yang
terbatas ini.
Maka, setelah sempat carmuk (cari muka, red) pada ibu, meski harus agak memhabiskan waktu dan mengacaukan schedule yang sudah saya ancang-ancang dari semalam, saya pun akhirnya memberanikan diri untuk melakukan lobi.
“Hari ini, ada penulis terkenal yang mau datang lho…” ucap saya pada ibu, lengkap dengan puppy-eyes.
Ibu
menatap saya, ia hapal betul dengan tingkah macam itu. Dan ibu tahu
bahwa minat saya di dunia kepenulisan memang sudah cukup merasuk jiwa.
Maka, meski tidak berucap apa-apa, saya mengerti bahwa tatapan mata itu
adalah pertanda dari sebuah restu untuk bisa ikut blogshop kali ini. Yay!
***
Terinspirasi dari tayangan televisi yang masih hot
membahas perihal hasil sidang harga BBM semalam, maka sebelum menuju
kamar mandi, saya mencoba untuk nangkring di depan laptop dulu. Kepala
saya sudah dipenuhi dengan kata-kata yang ingin saya rangkai menjadi
tulisan setelah melihat berita-berita di TV tadi. Akhirnya, tulisan
berjudul “Surat kepada Ibu Pertiwi” pun tuntas dalam seperempat jam.
Setelah posting ke blog, fb, multiply, dan akun kompasiana, saya lalu
beranjak untuk bergegas bersiap. ‘Lobi-lobi politik’ dengan Ibu tadi
memang memakan cukup banyak waktu, dan saya telah positif bakal
terlambat tiba di ‘TKP’. Nah, sebelum benar-benar meninggalkan rumah,
saya sempatkan untuk menengok kembali akun Kompasiana; mengecek
bagaimana perkembangan tulisan yang baru saya posting. Alhamdulillah, ternyata masuk kolom highlight. Padahal, mungkin seperti beberapa kawan lainnya, akun ini awalnya saya buat ‘cuma’ untuk ikut acara blogshop. Hehehe…
Sekitar setengah jam, saya pun tiba di Gedung BI. Casio
yang melingkar di tangan saya menginformasikan bahwa saya sudah telat
cukup parah, sekitar satu jam lebih! Hmm..,setidaknya masih lebih baik
daripada tidak datang sama sekali, khan? Tapi, imbasnya, saya
harus ikhlas untuk dapat posisi duduk di belakang (yang lumayan bikin
disorientasi, hehehe…) dan tidak lagi kebagian souvenir berupa kaos
kompasiana yang dengan bangga ditenteng oleh para peserta lain. Heu…
Saya memasuki ruangan
acara. Sebuah ruangan yang nyaman dengan dominasi warna coklat muda di
dalamnya. Terdapat hiasan perahu pinisi kebanggaan suku bugis dan
lukisan besar di beberapa sudut. Meja-meja bundar yang dikelilingi oleh
para peserta nampak tersebar di ruangan itu. Lengkap pula dengan colokan
listrik yang mempermudah peserta yang membawa serta gadgetnya, sesekali
ada saja peserta yang Nampak tersandung colokan-colokan itu.
Acara hari ini
disponsori oleh iB Perbankan Syari’ah. iB adalah singkatan dari
Islamic-Banking, atau yang lebih kita kenal dengan istilah Bank yang
berbasis syari’ah. Saat ini, antusias masyarakat kepada bank-bank
syariah memang terlihat cukup baik. Meski, produk yang ditawarkan
sebenarnya hampir mirip dengan produk bank konvensional, namun sistem
syariah yang berada di dalamnya insyaAllah akan memberi ketenangan
tersendiri kepada nasabah. Mungkin, itu yah yang membuat mereka
betah! Saya bersyukur, bahwa iB Perbankan Syariah ini berkenan untuk
mensponsori program-program acara yang penuh manfaat dan menarik seperti
blogshop Kompasiana ini! ^_^
Bernarasi bersama Kang Pepi
Pada saat tiba di
ruangan, ternyata acara sudah memasuki sesi yang ketiga. Pada bagian ini
yang menjadi pemateri adalah Kang Pepi Nugraha. Pada awal materi,
beliau menceritakan tentang kedekatannya dengan Kota Makassar.
Selanjutnya, dengan fasih Kang Pepi menyebutkan nama-nama penyanyi lokal
Makassar dan banyak menyinggung tentang beberapa tempat dan budaya yang
ada di Makassar. Oh iya, Kang Pepi juga memberikan tips untuk
memecahkan kebuntuan menulis pada para peserta!
“Menulislah seperti bagaimana kita bercakap, bukan seperti bagaimana orang lain menulis”, pungkas pria asal Jawa Barat ini.
Ya, sudah seharusnya
proses menulis pun kita sederhanakan. Sebab, kita menulis bukan untuk
diri sendiri, tapi untuk dimengerti oleh orang lain. Maka, tidak usah
memutar otak untuk memikirkan hal-hal yang ribet jika pada akhirnya
pembaca tidak menangkap apapun dari yang kita tulis. Sederhanakan saja,
lalu temukan proses kreatif dan ciri khas tulisan kita sendiri! Kang
Pepi juga menekankan untuk selalu melibatkan emosi dalam menulis. Dalam
hal ini, bukan berarti menulis itu harus dikerjakan sambil marah-marah, yah…
Tapi, perasaan apapun yang kita rasakan, sebisa mungkin juga turut
terwakilkan pada tulisan kita, sehingga akan terciptalah tulisan yang
tidak membosankan. Tulisan yang berisi suara hati juga bisa mencerminkan
kepribadian kita saat menulis, lho!
Materi Kang Pepi sendiri
sebenarnya berfokus tentang narasi. Lewat slide-slide yang ditampilkan,
jurnalis yang dalam kesempatan tersebut mengenakan jaket yang matching
dengan warna ruangan itu, banyak memaparkan tentang teori-teori seputar
tulisan jenis narasi ini. Mulai dari ciri-cirinya, tujuannya,
kriterianya, juga bagian-bagian yang harus ada dalam sebuat tulisan yang
naratif. Beliau juga memberikan
contoh seputar komponen-komponen dalam sebuah narasi. Tidak ketinggalan
pula tentang pembahasan mengenai sudut pandang dalam sebuah tulisan.
Sudut pandang orang
pertama yang menggunakan kata sejenis ‘aku’, dan sudut pandang orang
ketiga yang menggunakan kata ganti orang ketiga pula. Para peserta
Blogshop Kompasiana hari itu kebanyakan lebih sering menggunakan sudut
pandang yang pertama. Meski, menurut Kang Pepi, sebenarnya lebih aman
menggunakan sudut pandang orang ketiga yang memang lebih sering dipakai
dalam naskah narasi. Selain itu, sudut pandang ini juga cukup netral dan
terbebas dari ‘jebakan narsis’. Tapi bagi saya, selama kita nyaman dan
bisa membuat tulisan dengan perasaan hati yang enak, rasanya sudut
pandang apa saja akan menjadi lumrah. Ini menurut saya yah…
Kopdar dan Hunting Posisi Strategis
Di masa istirahat
selepas menyantap hidangan yang disediakan oleh panitia dan menunaikan
shalat Dhuhur, saya kembali ke ruangan acara yang nampak masih ramai
dengan peserta yang lalu lalang. Saya mengarahkan pandangan ke arah
panggung dan langsung mendapati ‘gerombolan’ Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN)
tempat saya juga bergabung dalam grupnya di Facebook. Meski masih
tergolong ‘calon ibu’ *halah* saya senang sekali bisa bergabung dengan
komunitas ini. Selain karena lebih nyaman karena membernya perempuan
semua, banyak pula info-info seputar kepenulisan yang saya dapatkan di
sana. Termasuk info blogshop kali ini. Maka saya pun menyempatkan diri
bergabung dengan mereka, meski terasa agak canggung, sebab ini adalah
kali pertama saya muncul dalam wujud nyata. Hehehe…
Selanjutnya, saya pun membidik seorang junior yang nampak pewe
(posisi weenak, red) di kursinya. Tempatnya lumayan strategis untuk
menerima materi dan mengambil gambar. Maka setelah lobi-lobi politik
lagi, ternyata di sana masih ada satu kursi kosong yang bisa saya
tempati. Berhasil! Saya pun memilih hijrah dari posisi awal ke tempat
baru yang lebih baik.
Ahmad Fuadi: Membela Impian dengan Menulis
Setelah menunggu sambil ngobrol
dengan teman-teman baru di meja tersebut dan ketawa-ketiwi menyaksikan
kuis-kuis yang lumayan unik, akhirnya yang dinantikan datang juga!
Seorang pria berkacamata dengan kemeja biru kotak-kotaknya. Sosok ini
sebelumnya hanya dapat saya saksikan di sampul belakang dalam buku yang
ia tulis. Ya, dialah Ahmad Fuadi, penulis Negeri Lima Menara dan Ranah
Tiga Warna!
Senang sekali rasanya
bisa menyaksikan beliau secara langsung, apalagi ditambah dengan materi
tentang kepenulisan darinya. Di awal, Bang Ahmad Fuadi memutarkan video
tentang perjalanan buku Negeri Lima Menara dan backpacking
beliau menjelajahi berbagai macam kota di dunia, plus dengan
penghargaan-penghargaan yang didapatkan dari hasil karyanya. Peserta
juga disuguhkan dengan proses awal hingga akhirnya novel pertamanya
berhasil difilmkan, dan jalannya syuting film Negeri Lima Menara mulai
dari Pesantren Gontor hingga ke Inggris.
Bang Fuadi memberikan
motivasi tentang pentingnya seseorang menulis, juga bahwa sebagai
penulis, kita harus paham mengapa seseorang ingin membaca. Maka alasan
semisal; untuk mengetahui, untuk menghibur, dan untuk melepaskan diri dari kepenatan kehidupan nyata, harus bisa di-cover oleh seorang penulis agar dapat membuat tulisan yang ingin dibaca oleh orang lain.
“Sebutir peluru
mungkin bisa menembus sebuah kepala, namun satu kata bisa menembus
ratusan bahkan jutaan kepala dalam satu waktu bersamaan” ucap Bang Fuadi untuk semakin meyakinkan para peserta agar lebih bergiat dalam menulis.
Nah, rupanya menulis juga bisa membuat kita awet muda dan akan terus dikenang, lho!
Sebab, setiap jiwa akan merasakan mati. Setiap manusia memiliki
limitnya masing-masing. Tapi, jika kita meninggalkan kenangan berupa
tulisan, tulisan itu akan terus hidup, meski kita telah tiada. Bang
Fuadi menyebut sebuah nama; Ibnu Rushd, seorang filsuf Islam di
abad kedua belas itu. Maka sebenarnya, kita punya cukup banyak nama
semisal: Imam Bukhari, Ibnu Qayyim, Ibnu Taimiyah, HAMKA, Rendra, dan
masih banyak nama lainnya, yang mungkin kini jasadnya telah terkubur,
namun kita masih dapat merasakan keberadaan mereka lewat karya-karya
mereka. Lewat tulisan-tulisan mereka! Maka ya, diri kita boleh saja tua,
boleh saja mati. Tapi, tidak dengan tulisan kita! Maka semoga tulisan
yang tetap ‘kekal’ itu bisa menjadi jalan bagi kita untuk menjadi
manusia terbaik; manusia yang paling banyak manfaatnya!
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat” demikian sabda Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam dalam riwayat Thabrani dan Daruquthni.
Bang Fuadi bercerita,
bahwa begitu banyak mimpinya yang menjadi nyata lewat tulisan. Tentang
bagaimana ia menyambung hidup lewat honor menulis. Dan pada akhirnya, ia
yakin bahwa inilah salah satu jalan untuk memberikan manfaat bagi
banyak orang. Terbukti, Bang!
Proses Kreatif ala Bang Fuadi
Setidaknya ada
empat poin besar yang dipaparkan oleh Bang Fuadi seputar proses menulis
yang beliau jalankan. Keempatnya terangkum dalam empat buah kata tanya:
Why? Pertanyaan ini akan menjawab niat dan tujuan kita dalam menulis. Untuk Bang Fuadi sendiri, hadits Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam
di atas yang beliau dengar dari ustadz di Gontor, menjadi lebih dari
cukup untuk menjawab pertanyaan ini. Maka, niat yang lurus dalam menulis
akan menjadi suntikan stamina yang tidak akan pernah putus. Memberikan
semangat pada saat mulai malas, dan menjadikan kita selalu berupaya
mencari jalan untuk tetap konsisten dalam menulis.
What? Mengenali,
peduli, senang, dan familiar dengan tema yang akan kita tulis bisa
menjadi obat kuat dalam tulisan. Tulisan akan muncul dari dalam hati,
dan semoga pun akan sampai ke hati!
How? Mengetahui
sebanyak-banyaknya informasi tentang apa yang akan kita tulis, bukan
hanya akan membantu untuk melancarkan arus ide, tapi juga membuat
tulisan menjadi lebih dalam. Referensi bisa didapatkan dari buku lain
dan riset-riset, termasuk juga dari kamus!
“Kapan terakhir kali baca kamus?”
pertanyaan Bang Fuadi itu menghentak kesadaran saya. Hmm…, penulis yang
baik memang seharusnya rajin membuka kamus. Sebab, kamus akan menambah
perbendaharaan kata dan akan memberikan variasi pada setiap tulisan. Ini
akan membuat tulisan menjadi lebih baik, sebab tidak banyak pengulangan
kata di dalamnya.
Bang Fuadi sendiri,
dalam proses menulis Negeri Lima Menara, kembali membongkar tumpukan
diari lama, surat-suratnya kepada ibunda, sampai buku tulis yang
digunakan saat hari pertama di Gontor dulu. Mau tahu catatan apa yang pertama dituliskannya? Yup, mantera sakti: man jadda wajada!
When? Tidak ada waktu, sibuk kuliah atau kerja, ribet dengan pekerjaan ini dan itu, dan sederet
alasan lainnya terkadang menjadi salah satu sebab terjadinya kebuntuan
dalam menulis. Maka kapankah waktu terbaik untuk menulis? Ya, saat ini!
Seseorang yang memang ingin serius di bidang kepenulisan, sudah
seharusnya melowongkan waktu untuk kegiatan menulis, bukan hanya sekadar
memberikan porsi ‘waktu sisa’ untuk membuat karya. Konsistensi dalam
jadwal menulis tersebut juga perlu dilatih kedisiplinannya. Tidak harus
menulis dalam jumlah banyak, yang penting kontinyu. Dalam bagian ini
pula, Bang Fuadi menggulirkan sebuah pepatah baru: Sedikit semi sedikit, lama-lama menjadi buku!
Kesemua proses menulis ini, jika dijalankan dengan disiplin dan konsisten, insyaAllah
akan berbuah sebuah tulisan yang baik. Bang Fuadi menasihatkan untuk
tidak langsung berfokus agar tulisan bisa laku. Sebab, banyak tulisan
yang laku, meski belum tentu baik. Namun, sebuah tulisan yang baik, insyaAllah akan laku. Nah, bukankah hanya tulisan yang baik yang bisa mendatangkan kemanfaatan?
Oh iya, ada yang menarik dari sesi tanya jawab. Saat seorang peserta dari Ambon dipersilakan untuk mengambil alih mic.
Beliau bertutur tentang anaknya yang baru saja lahir hari itu (konon
berencana diberi nama Ahmad Fuadi pula!), juga tentang harapannya bahwa
kelak akan ada penerus Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, dan penulis hebat
lainnya yang bisa lahir dari tanah Makassar. Saya mendengarkan hal itu
sambil terus mengaminkan dalam hati, semoga budaya literasi di kampung
halaman saya ini bisa terus berkembang. Aamiin…
Pada akhirnya, mungkin sederet materi yang diberikan dalam blogshop ini
bisa dengan mudah kita dapatkan di buku ataupun artikel di internet.
Tapi, bagi saya pribadi, yang menjadi inti dari acara ini adalah tentang
semangat yang tercipta setelah pulang dari gedung BI tadi. Tentang
sindrom positif yang akan merasuk kepada setiap peserta untuk lebih
semangat lagi dalam menulis. Kita telah menyaksikan begitu banyak tokoh
yang terkenal dan menebar manfaat lewat tulisan-tulisannya yang
berkualitas. Tapi, kita pun harus sadar, bahwa itu semua mereka dapatkan
tidak dengan cara yang instan. Pasti ada kerja keras yang besar di
dalamnya. Maka untuk menjadi penulis yang sukses pun, rasanya tidak
salah jika kita meminjam mantera dari para shahibul menara: Man Jadda Wajada!