SisiRajin: Din, setelah nulis ini, langsung lanjut kerja tugas makalahmu yaah../ SisiSantai: Okeh, okeh.. Hehehe...
-----------------------------------------------------------------------------------------
Teman-teman, kali ini saya ingin share tentang masalah rasa bahasa. Rasa bahasa dalam definisi saya adalah masalah bagaimana mengungkapkan hal-hal tertentu lewat bahasa tulisan. Rasa bahasa bukan saja terkait dengan diksi (pemilihan kata), tapi -setidaknya bagi saya, berhubungan erat dengan pemilihan tanda baca, pemilihan huruf kapital, bahkan masalah italic, bold, atau underline-nya sebuah teks.
Saya terlahir dan tertakdir untuk hidup akrab dengan dunia literer. Kamar pertama saya adalah bekas perpustaskaan bapak yang ditambahkan tempat tidur kecil dan meja belajar bekas. Benda yang rutin dibelikan kepada saya bersaudara adalah buku cerita tiap bulan setelah bapak gajian. Dan dimasa kecil, benda berharga bagi saya adalah lembaran kertas HVS yang bisa saya gunakan untuk menulis cerita atau membuat komik. Belakangan, baru saya ketahui, bahwa pertemuan kedua orang tua saya pun terajut secara apik lewat lembar-lembar surat yang dilayangkan bapak kepada ibu pada masa pedekate mereka. (Stt..jangan bilang siapa-siapa yaah.. hehehe...)
Maka, ya, saya telah terbiasa dengan kata-kata sejak lama. Maka, saya pun tumbuh dengan tingkat sensitivitas 'rasa bahasa' yang cukup 'parah'. Untungnya, hal itu kemudian bisa saya kendalikan dengan memahami bahwa tidak semua orang memiliki rasa bahasa yang sama. Tapi, saya kadang tetap kecolongan. Misalnya saja, kejadian saat masa KKN ini:
Seorang teman seposko telah duluan melakukan kegiatan pendataan hingga titik yang cukup jauh. Saya yang waktu itu masih stay di posko kemudian menerima smsnya. Saya pun mengabarkan bahwa personel posko kami sebagian besar masih pada santai dan belum beranjak untuk turut mendata. Nah, kawan ini kemudian mengeluh, lewat bahasa sms, beliau menuliskan kekecewaan dan protes kepada saya yang dia anggap kurang bisa mengkoordinasi teman-teman, setidaknya itu yang bisa saya tangkap dari bahasa tulisannya. Akibatnya, saya kemudian memaksakan untuk segera mendata, meski dalam situasi yang sebenarnya kurang begitu pas. Setelah kembali ke posko, saya baru sadar, ternyata kawan tadi tidak sedang benar-benar 'marah'. Dia malah mengaku hanya bercanda dan tidak sejatinya mengeluh lewat sms tadi. Namun, rasa bahasa yang saya tangkap berbeda, dan saya salah.
Sensitivitas pada rasa bahasa ini membuat saya kemudian menjadi kurang 'nyaman' dengan deretan kata-kata yang diakhiri dengan tanda seru; bagi saya, itu bermakna teguran keras, kemarahan, dan bentakan. Saya pun terganggu dengan penggunaan tanda tanya yang lebih dari tiga, bagi saya itu berlebihan. Apalagi, dengan penggunaan koma yang berderet-deret, bagi saya itu adalah pemborosan tanpa makna. Pun termasuk dengan deretan titik-titik panjang yang bagi saya tidak ada artinya. Dan huruf kapital pada seluruh kata adalah lambang teriakan keras, apalagi kalau diakhiri dengan tanda seru juga!
Maka kemunculan komunitas 4L4Y yang heboh dengan kombinasi huruf kecil dan kapital yang berantakan, belum lagi dengan sisipan angka dan simbol-simbol yang menggantikan huruf, JELAS membuat saya sangat tersiksa. Grrr....
Tapi kemudian saya sadar, bahwa memang tidak semua orang sama. Tidak semua orang 'tidak nyantai' seperti saya yang mungkin agak heboh dalam menanggapi hal ini. Beberapa orang terbiasa menggunakan tanda seru meski ia tidak sedang ingin menyeru. Yang lainnya memang hobi menggunakan deretan panjang koma dan tidak mempermasalahkannya. Dan anak-anak alay itu, saya akhirnya mengerti, bahwa dibutuhkan 'kerja ekstra' untuk dapat membuat deretan kata sebagaimana ciri khas mereka menuliskannya. Iy44 gaKk sYiicH... *kalimat terakhir membutuhkan waktu lama untuk membuatnya. Yah, menjadi alay ternyata butuh pengorbanan :p
Maka pada akhirnya, rasa bahasa kembali kepada individu masing-masing. Dan kita yang hidup berdampingan dengan manusia lain, dengan kebutuhan komunikasi lewat tulisan yang semakin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi, agaknya memang memerlukan toleransi ekstra terhadap manusia lain, agar dapat tetap dapat saling memahami, dan menerima pesan dengan lebih baik, tanpa ada kesalahan persepsi yang berarti. Semoga yah...
Teman-teman, kali ini saya ingin share tentang masalah rasa bahasa. Rasa bahasa dalam definisi saya adalah masalah bagaimana mengungkapkan hal-hal tertentu lewat bahasa tulisan. Rasa bahasa bukan saja terkait dengan diksi (pemilihan kata), tapi -setidaknya bagi saya, berhubungan erat dengan pemilihan tanda baca, pemilihan huruf kapital, bahkan masalah italic, bold, atau underline-nya sebuah teks.
Saya terlahir dan tertakdir untuk hidup akrab dengan dunia literer. Kamar pertama saya adalah bekas perpustaskaan bapak yang ditambahkan tempat tidur kecil dan meja belajar bekas. Benda yang rutin dibelikan kepada saya bersaudara adalah buku cerita tiap bulan setelah bapak gajian. Dan dimasa kecil, benda berharga bagi saya adalah lembaran kertas HVS yang bisa saya gunakan untuk menulis cerita atau membuat komik. Belakangan, baru saya ketahui, bahwa pertemuan kedua orang tua saya pun terajut secara apik lewat lembar-lembar surat yang dilayangkan bapak kepada ibu pada masa pedekate mereka. (Stt..jangan bilang siapa-siapa yaah.. hehehe...)
Maka, ya, saya telah terbiasa dengan kata-kata sejak lama. Maka, saya pun tumbuh dengan tingkat sensitivitas 'rasa bahasa' yang cukup 'parah'. Untungnya, hal itu kemudian bisa saya kendalikan dengan memahami bahwa tidak semua orang memiliki rasa bahasa yang sama. Tapi, saya kadang tetap kecolongan. Misalnya saja, kejadian saat masa KKN ini:
Seorang teman seposko telah duluan melakukan kegiatan pendataan hingga titik yang cukup jauh. Saya yang waktu itu masih stay di posko kemudian menerima smsnya. Saya pun mengabarkan bahwa personel posko kami sebagian besar masih pada santai dan belum beranjak untuk turut mendata. Nah, kawan ini kemudian mengeluh, lewat bahasa sms, beliau menuliskan kekecewaan dan protes kepada saya yang dia anggap kurang bisa mengkoordinasi teman-teman, setidaknya itu yang bisa saya tangkap dari bahasa tulisannya. Akibatnya, saya kemudian memaksakan untuk segera mendata, meski dalam situasi yang sebenarnya kurang begitu pas. Setelah kembali ke posko, saya baru sadar, ternyata kawan tadi tidak sedang benar-benar 'marah'. Dia malah mengaku hanya bercanda dan tidak sejatinya mengeluh lewat sms tadi. Namun, rasa bahasa yang saya tangkap berbeda, dan saya salah.
Sensitivitas pada rasa bahasa ini membuat saya kemudian menjadi kurang 'nyaman' dengan deretan kata-kata yang diakhiri dengan tanda seru; bagi saya, itu bermakna teguran keras, kemarahan, dan bentakan. Saya pun terganggu dengan penggunaan tanda tanya yang lebih dari tiga, bagi saya itu berlebihan. Apalagi, dengan penggunaan koma yang berderet-deret, bagi saya itu adalah pemborosan tanpa makna. Pun termasuk dengan deretan titik-titik panjang yang bagi saya tidak ada artinya. Dan huruf kapital pada seluruh kata adalah lambang teriakan keras, apalagi kalau diakhiri dengan tanda seru juga!
Maka kemunculan komunitas 4L4Y yang heboh dengan kombinasi huruf kecil dan kapital yang berantakan, belum lagi dengan sisipan angka dan simbol-simbol yang menggantikan huruf, JELAS membuat saya sangat tersiksa. Grrr....
Tapi kemudian saya sadar, bahwa memang tidak semua orang sama. Tidak semua orang 'tidak nyantai' seperti saya yang mungkin agak heboh dalam menanggapi hal ini. Beberapa orang terbiasa menggunakan tanda seru meski ia tidak sedang ingin menyeru. Yang lainnya memang hobi menggunakan deretan panjang koma dan tidak mempermasalahkannya. Dan anak-anak alay itu, saya akhirnya mengerti, bahwa dibutuhkan 'kerja ekstra' untuk dapat membuat deretan kata sebagaimana ciri khas mereka menuliskannya. Iy44 gaKk sYiicH... *kalimat terakhir membutuhkan waktu lama untuk membuatnya. Yah, menjadi alay ternyata butuh pengorbanan :p
Maka pada akhirnya, rasa bahasa kembali kepada individu masing-masing. Dan kita yang hidup berdampingan dengan manusia lain, dengan kebutuhan komunikasi lewat tulisan yang semakin meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi, agaknya memang memerlukan toleransi ekstra terhadap manusia lain, agar dapat tetap dapat saling memahami, dan menerima pesan dengan lebih baik, tanpa ada kesalahan persepsi yang berarti. Semoga yah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar