Judul
: Promise, Love, and Life
Penulis
: Nyi Penengah Dewanti
Penerbit : Quanta
Terbit
: 2013
Tebal
: 176
halaman
ISBN
: 978-602-0220-35-2
Di sebuah malam Jum’at pada
bulan Mei 2013, seorang gadis memulai satu fase penting dalam perjalanan
hidupnya. Ia disapa Dewi. Hari itu, Dewi memutuskan untuk meninggalkan kampung
halamannya dan mengejar mimpi-mimpinya. Sederhana saja, ia hanya ingin hidup
layak dan memegang kendali atas dirinya sendiri, ia ingin membahagiakan ibunya
–wanita yang sangat ia cintai, ia ingin membangun sebuah rumah yang dapat
mereka tinggali dengan aman dan nyaman, tanpa perlu diteror oleh pembayaran
sewa bulanan lagi. Demi semua itu, Dewi siap untuk menjadi seorang tenaga kerja
wanita, di sebuah negeri yang belum pernah ia sambangi sebelumnya. Negeri
beton; Hongkong.
Dunia TKW adalah sebuah
ranah yang hingga hari ini masih memancing berbagai persepsi. Tak jarang kita
mendengar berita tentang TKW yang bermasalah di luar negeri. Namun, di antara
itu, ada pula cerita tentang para pahlawan devisa yang benar-benar berhasil
merampungkan tugasnya dengan sangat baik. Selama ini, mungkin kita hanya
mendengar kabar-kabar tersebut dari media massa yang ditulis oleh para
wartawan. Nah, buku Promise, Love, and
Live ini menyuguhkan pada kita suara hati yang datang langsung dari
sumbernya sendiri, bukan fiksi, apalagi imajinasi. Nyi Penengah Dewanti
menceritakan kisah pahit-manisnya berjuang sebagai seorang TKW; setiap
perasaan, pengalaman, rasa bahagia, menegangkan, kesedihan, semuanya tumpah
ruah dalam memoar yang diselingi dengan puisi-puisi yang cantik ini.
Dimulai dengan ketibaannya
di Jakarta pada sebuah asrama milik agency yang akan mengurus tetek bengek
persiapannya sebagai seorang TKW. Mulai dari langkah awal ini saja, kesabaran
Dewi sudah harus ditempa dengan sengitnya aura persaingan antar calon TKW di
asrama, belum lagi dengan kerinduannya pada ibu dan kampung halamannya. Hingga
akhirnya Dewi menginjakkan kaki di Hongkong setelah penantian di tanah air, dan
kembali lagi masuk asrama sebelum akhirnya ditempatkan pada majikan yang akan
mempekerjakannya.
Dari satu majikan ke
majikan yang lain, Dewi mengumpulkan berbagai macam pengalaman hidup. Ia harus
bekerja keras, bahkan hingga seperti robot dengan jam istirahat yang begitu
minim serta upaya yang ekstra bahkan hanya untuk mengerjakan kewajibannya
sebagai seorang muslimah; shalat dan berpuasa. Semua perintah majikan dilakoninya. Mulai dari
menyiapkan makanan, membereskan rumah yang begitu besar, mengajak jalan-jalan
bahkan hingga membersihkan kotoran anjing majikannya, sampai menunggui mobil
yang sementara di parkir dalam cuaca yang tidak bersahabat. Lelahkah? Tentu
saja. Namun hidup bagi Dewi adalah sebuah perjuangan panjang yang harus ia
lakoni di usia yang masih sangat belia.
“Aku hanya mampu menangkap, kebahagiaan ternyata harus dibarengi dengan
cobaan yang menyakitkan.” (Hal.21)
Tidak cukup dengan seabrek
pekerjaan yang begitu menyita tenaga itu. Kehidupan sebagai seorang buruh
migran juga mengharuskannya memiliki mental baja, psikis yang tidak boleh kalah
kuat dari fisiknya. Ia menghadapi berbagai macam model majikan, sebenarnya ia
sempat pula menemukan majikannya yang cukup baik. Tapi, tidak jarang diantara
majikannya yang begitu beringas, memotong gajinya seenaknya, dan senang
mengucapkan kata-kata kasar padanya, baik tuannya, maupun sang nyonya. Belum
lagi jika di rumah tempatnya bekerja ada anggota keluarga lain yang juga tidak
jarang bersikap buruk padanya. Begitu pula dengan anak majikan yang sering bertingkah
nakal, menjengkelkan, dan menguras tenaga lahir dan batin.
Dewi pernah nyaris pingsan
karena harus bekerja tanpa makan sejak pagi. Ia diikutkan ke berbagai tempat
oleh majikannya dan hanya diberi setengah potong roti yang setengah bagian
lainnya diberikan kepada anjing mereka, potongan roti yang tak pernah ingin
Dewi nikmati. Bahkan ia pernah nyaris ditikam dengan pisau oleh majikan
kecilnya yang teramat nakal, namun belakangan menjadi begitu dekat dan bersedih
ketika Dewi harus pindah ke tempat kerja yang lain.
Segala perjuangan dan kerja
keras Dewi mendapatkan ‘pengakuan’ pada saat di tahun 2006 ia sempat kembali ke
Indonesia dan terpilih menjadi trainer
untuk TKW baru di asrama tempat para TKW dipersiapkan. Pada kesempatan itu
pula, oleh Budi Hardisurjo, pemilik bisnis PJTKI tempat Dewi bernaung, ia
dipertemukan dengan mantan menteri pendidikan, Wardiman Djoyodiningrat.
Memoar yang ditulis dengan
gaya bertutur yang lincah ini juga terkadang akan membawa kita untuk flashback ke masa lalu Dewi. Dari
sanalah kita akan menemukan sebuah kisah yang juga akan kembali mengajarkan
kita arti perjuangan seorang anak dalam menghadapi kondisi keluarganya. Dewi
bersama ibu dan saudara-saudaranya harus menerima saat ternyata mereka
ditinggalkan oleh ayahnya. Sang ayah pergi bersama perempuan lain yang ia kenal
saat ia pergi mencari nafkah. Belakangan, ia kerap kali tetap muncul dalam
kehidupan Dewi. Sayangnya, lelaki itu justru datang dengan membawa masalah;
hutang-hutang yang harus dilunasi, meminjam uang untuk keperluan yang entah,
bahkan sejumlah jaminan untuk menghindarkannya dari bui penjara. Dan, semua
beban itu harus ditanggung oleh Dewi yang menjadi tulang punggung keluarga
mereka. Bayangkanlah seorang anak perempuan yang menyaksikan lelaki yang seharusnya
menjadi tempatnya bersandar, justru meletakkan beban berat pada pundaknya,
bersama dengan kesalahan yang begitu sulit untuk dimaafkan, serta membuatnya
merasakan makna kehilangan untuk pertama kalinya. Namun nyatanya, lagi-lagi buku ini mengajarkan
kita bahwa kesalahan hadir untuk mengajarkan arti memaafkan. Seperti bagaimana
Dewi akhirnya berdamai dengan takdir, dan berfokus pada ikhtiar untuk
memperbaiki nasib keluarganya, meski harus dengan bekerja keras.
“Tak seharusnya aku menyalahkan Bapak yang meninggalkan kami. Mungkin,
Bapak belum siap menafkahi kami yang semakin besar, semakin membutuhkan biaya
banyak.” (Hal. 30)
Tapi, kehidupan sebagai
seorang buruh migran tidak membuatnya berhenti untuk mengembangkan dirinya. Di
tengah segala kerepotannya menghadapi pekerjaan yang seolah tak ada habisnya,
lewat kecanggihan teknologi, Dewi menemukan sebuah dunia lain yang begitu
menarik perhatiannya; menulis. Jangan
bayangkan seorang gadis yang menikmati hobi menulisnya dengan tenang dan damai
serta fasilitas yang lengkap. Dewi tentu jauh dari itu. Ia bahkan harus
kucing-kucingan saat terpaksa harus menggunakan komputer majikannya saat akan
menyelesaikan naskah yang ingin ia ikutkan lomba atau ia kirimkan ke media. Ia
rela jari-jarinya kaku saat mengetik kata-kata dengan ponselnya, atau saat ia
harus meminta bantuan dari seorang kawannya yang bekerja sebagai operator
warnet. Dan, semua kerja keras Dewi
berbuah; tulisannya dimuat di berbagai media massa Hongkong berbahasa
Indonesia, serta memenangkan berbagai lomba, meski di awal ia harus bersabar
dengan kekalahan. Bahkan, naskah memoarnya lolos pada sebuah penerbit di tanah
air sejak ia masih berstatus sebagai TKW di negeri seberang.
Kisah perjalanan hidup Nyi
Penengah Dewanti masih terus berlanjut. Namun, ia telah melewati satu bagian
dari kehidupannya yang menyimpan begitu banyak pelajaran bagi siapapun yang
ingin memaknai kerja keras, keberanian, kesabaran, kelapangan hati, dan
semangat pantang menyerah. Dewi telah berhasil meraih mimpinya pada Desember
2011 saat ia menempatkan keluarganya di sebuah rumah sederhana milik mereka
sendiri. Ia juga kembali ke tanah air dan menjalani hari-harinya dengan terus
berkarya. Hingga kini, tidak kurang dari 100 antologi bersama telah ia
hasilkan, serta tulisan-tulisan di media cetak Hongkong dan Indonesia. Ia pun
menjadi editor naskah di Kinomedia Writer Academy sambil melanjutkan
pendidikannya.
Aku tak sendirian/ Ada Tuhan, ada Allah pemilik semesta/ Apakah aku
sendirian?/ Bukan, kau bersama doa-doa/ Doa-doamu menaungimu/ Memelukmu dari
sedih yang membuatmu murung. (Hal. 161)
Buku Promise, Love, and
Life adalah sebuah memoar sederhana, namun berisi nilai-nilai kehidupan yang
patut untuk direnungkan oleh siapa saja. Dengan kemampuan menulis yang tidak
perlu diragukan lagi, kisah kehidupan Nyi Penengah Dewanti ini sebenarnya dapat
dikemas dengan lebih apik jika disajikan dalam bentuk novel based on true story dengan dialog-dialog
yang hidup serta deskripsi yang lebih kuat, serta penuturan yang lebih runut
dan plot yang tertata. Namun terlepas dari itu semua, buku ini sangat patut
untuk kita menjadi salah satu anggota di rak buku Anda!
*Resensi ini diikutsertakan dalam lomba resensi buku BAW dan QuantaBooks
*Resensi ini diikutsertakan dalam lomba resensi buku BAW dan QuantaBooks
Terima kasih ya Kak :')
BalasHapusterharu dan nangis bacanya
Saya langsung merasa hidup saya tidak ada apa-apanya dibandingkan perjuangannya Mbak Dewi. Terima kasih :)
Hapus