Minggu, 04 Mei 2014

Perjuangan Hidup dari Negeri Beton



Judul            : Promise, Love, and Life

Penulis         : Nyi Penengah Dewanti

Penerbit        : Quanta

Terbit            : 2013

Tebal             : 176 halaman

ISBN             : 978-602-0220-35-2



Di sebuah malam Jum’at pada bulan Mei 2013, seorang gadis memulai satu fase penting dalam perjalanan hidupnya. Ia disapa Dewi. Hari itu, Dewi memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya dan mengejar mimpi-mimpinya. Sederhana saja, ia hanya ingin hidup layak dan memegang kendali atas dirinya sendiri, ia ingin membahagiakan ibunya –wanita yang sangat ia cintai, ia ingin membangun sebuah rumah yang dapat mereka tinggali dengan aman dan nyaman, tanpa perlu diteror oleh pembayaran sewa bulanan lagi. Demi semua itu, Dewi siap untuk menjadi seorang tenaga kerja wanita, di sebuah negeri yang belum pernah ia sambangi sebelumnya. Negeri beton; Hongkong.

Dunia TKW adalah sebuah ranah yang hingga hari ini masih memancing berbagai persepsi. Tak jarang kita mendengar berita tentang TKW yang bermasalah di luar negeri. Namun, di antara itu, ada pula cerita tentang para pahlawan devisa yang benar-benar berhasil merampungkan tugasnya dengan sangat baik. Selama ini, mungkin kita hanya mendengar kabar-kabar tersebut dari media massa yang ditulis oleh para wartawan. Nah, buku Promise, Love, and Live ini menyuguhkan pada kita suara hati yang datang langsung dari sumbernya sendiri, bukan fiksi, apalagi imajinasi. Nyi Penengah Dewanti menceritakan kisah pahit-manisnya berjuang sebagai seorang TKW; setiap perasaan, pengalaman, rasa bahagia, menegangkan, kesedihan, semuanya tumpah ruah dalam memoar yang diselingi dengan puisi-puisi yang cantik ini.

Dimulai dengan ketibaannya di Jakarta pada sebuah asrama milik agency yang akan mengurus tetek bengek persiapannya sebagai seorang TKW. Mulai dari langkah awal ini saja, kesabaran Dewi sudah harus ditempa dengan sengitnya aura persaingan antar calon TKW di asrama, belum lagi dengan kerinduannya pada ibu dan kampung halamannya. Hingga akhirnya Dewi menginjakkan kaki di Hongkong setelah penantian di tanah air, dan kembali lagi masuk asrama sebelum akhirnya ditempatkan pada majikan yang akan mempekerjakannya.

Dari satu majikan ke majikan yang lain, Dewi mengumpulkan berbagai macam pengalaman hidup. Ia harus bekerja keras, bahkan hingga seperti robot dengan jam istirahat yang begitu minim serta upaya yang ekstra bahkan hanya untuk mengerjakan kewajibannya sebagai seorang muslimah; shalat dan berpuasa.  Semua perintah majikan dilakoninya. Mulai dari menyiapkan makanan, membereskan rumah yang begitu besar, mengajak jalan-jalan bahkan hingga membersihkan kotoran anjing majikannya, sampai menunggui mobil yang sementara di parkir dalam cuaca yang tidak bersahabat. Lelahkah? Tentu saja. Namun hidup bagi Dewi adalah sebuah perjuangan panjang yang harus ia lakoni di usia yang masih sangat belia.

Aku hanya mampu menangkap, kebahagiaan ternyata harus dibarengi dengan cobaan yang menyakitkan.” (Hal.21)
Tidak cukup dengan seabrek pekerjaan yang begitu menyita tenaga itu. Kehidupan sebagai seorang buruh migran juga mengharuskannya memiliki mental baja, psikis yang tidak boleh kalah kuat dari fisiknya. Ia menghadapi berbagai macam model majikan, sebenarnya ia sempat pula menemukan majikannya yang cukup baik. Tapi, tidak jarang diantara majikannya yang begitu beringas, memotong gajinya seenaknya, dan senang mengucapkan kata-kata kasar padanya, baik tuannya, maupun sang nyonya. Belum lagi jika di rumah tempatnya bekerja ada anggota keluarga lain yang juga tidak jarang bersikap buruk padanya. Begitu pula dengan anak majikan yang sering bertingkah nakal, menjengkelkan, dan menguras tenaga lahir dan batin.

Dewi pernah nyaris pingsan karena harus bekerja tanpa makan sejak pagi. Ia diikutkan ke berbagai tempat oleh majikannya dan hanya diberi setengah potong roti yang setengah bagian lainnya diberikan kepada anjing mereka, potongan roti yang tak pernah ingin Dewi nikmati. Bahkan ia pernah nyaris ditikam dengan pisau oleh majikan kecilnya yang teramat nakal, namun belakangan menjadi begitu dekat dan bersedih ketika Dewi harus pindah ke tempat kerja yang lain.

Segala perjuangan dan kerja keras Dewi mendapatkan ‘pengakuan’ pada saat di tahun 2006 ia sempat kembali ke Indonesia dan terpilih menjadi trainer untuk TKW baru di asrama tempat para TKW dipersiapkan. Pada kesempatan itu pula, oleh Budi Hardisurjo, pemilik bisnis PJTKI tempat Dewi bernaung, ia dipertemukan dengan mantan menteri pendidikan, Wardiman Djoyodiningrat.

Memoar yang ditulis dengan gaya bertutur yang lincah ini juga terkadang akan membawa kita untuk flashback ke masa lalu Dewi. Dari sanalah kita akan menemukan sebuah kisah yang juga akan kembali mengajarkan kita arti perjuangan seorang anak dalam menghadapi kondisi keluarganya. Dewi bersama ibu dan saudara-saudaranya harus menerima saat ternyata mereka ditinggalkan oleh ayahnya. Sang ayah pergi bersama perempuan lain yang ia kenal saat ia pergi mencari nafkah. Belakangan, ia kerap kali tetap muncul dalam kehidupan Dewi. Sayangnya, lelaki itu justru datang dengan membawa masalah; hutang-hutang yang harus dilunasi, meminjam uang untuk keperluan yang entah, bahkan sejumlah jaminan untuk menghindarkannya dari bui penjara. Dan, semua beban itu harus ditanggung oleh Dewi yang menjadi tulang punggung keluarga mereka. Bayangkanlah seorang anak perempuan yang menyaksikan lelaki yang seharusnya menjadi tempatnya bersandar, justru meletakkan beban berat pada pundaknya, bersama dengan kesalahan yang begitu sulit untuk dimaafkan, serta membuatnya merasakan makna kehilangan untuk pertama kalinya.  Namun nyatanya, lagi-lagi buku ini mengajarkan kita bahwa kesalahan hadir untuk mengajarkan arti memaafkan. Seperti bagaimana Dewi akhirnya berdamai dengan takdir, dan berfokus pada ikhtiar untuk memperbaiki nasib keluarganya, meski harus dengan bekerja keras.

Tak seharusnya aku menyalahkan Bapak yang meninggalkan kami. Mungkin, Bapak belum siap menafkahi kami yang semakin besar, semakin membutuhkan biaya banyak.” (Hal. 30)

Tapi, kehidupan sebagai seorang buruh migran tidak membuatnya berhenti untuk mengembangkan dirinya. Di tengah segala kerepotannya menghadapi pekerjaan yang seolah tak ada habisnya, lewat kecanggihan teknologi, Dewi menemukan sebuah dunia lain yang begitu menarik perhatiannya; menulis. Jangan bayangkan seorang gadis yang menikmati hobi menulisnya dengan tenang dan damai serta fasilitas yang lengkap. Dewi tentu jauh dari itu. Ia bahkan harus kucing-kucingan saat terpaksa harus menggunakan komputer majikannya saat akan menyelesaikan naskah yang ingin ia ikutkan lomba atau ia kirimkan ke media. Ia rela jari-jarinya kaku saat mengetik kata-kata dengan ponselnya, atau saat ia harus meminta bantuan dari seorang kawannya yang bekerja sebagai operator warnet.  Dan, semua kerja keras Dewi berbuah; tulisannya dimuat di berbagai media massa Hongkong berbahasa Indonesia, serta memenangkan berbagai lomba, meski di awal ia harus bersabar dengan kekalahan. Bahkan, naskah memoarnya lolos pada sebuah penerbit di tanah air sejak ia masih berstatus sebagai TKW di negeri seberang.

Kisah perjalanan hidup Nyi Penengah Dewanti masih terus berlanjut. Namun, ia telah melewati satu bagian dari kehidupannya yang menyimpan begitu banyak pelajaran bagi siapapun yang ingin memaknai kerja keras, keberanian, kesabaran, kelapangan hati, dan semangat pantang menyerah. Dewi telah berhasil meraih mimpinya pada Desember 2011 saat ia menempatkan keluarganya di sebuah rumah sederhana milik mereka sendiri. Ia juga kembali ke tanah air dan menjalani hari-harinya dengan terus berkarya. Hingga kini, tidak kurang dari 100 antologi bersama telah ia hasilkan, serta tulisan-tulisan di media cetak Hongkong dan Indonesia. Ia pun menjadi editor naskah di Kinomedia Writer Academy sambil melanjutkan pendidikannya.

Aku tak sendirian/ Ada Tuhan, ada Allah pemilik semesta/ Apakah aku sendirian?/ Bukan, kau bersama doa-doa/ Doa-doamu menaungimu/ Memelukmu dari sedih yang membuatmu murung. (Hal. 161)

Buku Promise, Love, and Life adalah sebuah memoar sederhana, namun berisi nilai-nilai kehidupan yang patut untuk direnungkan oleh siapa saja. Dengan kemampuan menulis yang tidak perlu diragukan lagi, kisah kehidupan Nyi Penengah Dewanti ini sebenarnya dapat dikemas dengan lebih apik jika disajikan dalam bentuk novel based on true story dengan dialog-dialog yang hidup serta deskripsi yang lebih kuat, serta penuturan yang lebih runut dan plot yang tertata. Namun terlepas dari itu semua, buku ini sangat patut untuk kita menjadi salah satu anggota di rak buku Anda!

*Resensi ini diikutsertakan dalam lomba resensi buku BAW dan QuantaBooks

2 komentar:

  1. Terima kasih ya Kak :')
    terharu dan nangis bacanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya langsung merasa hidup saya tidak ada apa-apanya dibandingkan perjuangannya Mbak Dewi. Terima kasih :)

      Hapus