




Menulis bagaikan menanam pohon. Bahkan meski kita tahu bahwa besok kita akan mati (walaupun kita tidak akan pernah tahu), tapi jika benih telah ada di tangan, maka tanamlah. Maka biarpun kita berfikir bahwa tidak akan banyak yang membacanya, tapi jika ide telah ada di otak, maka tuliskanlah! Sebab Allah tahu, kita telah mencoba.
SisiRajin: Din, setelah nulis ini, langsung lanjut kerja tugas makalahmu yaah../ SisiSantai: Okeh, okeh.. Hehehe...
Maka menulislah; agar jutaan pembaca menjadi guru yang meluruskan kebengkokan, mengingatkan keterluputan, membetulkan kekeliruan (Salim. A. Fillah)
Akhirnya penantian itu berakhir juga. Setelah tiga pekan lamanya menanti datangnya sang buku perdana, hari ini dia muncul dengan ‘kemunculan-hening’. Ya, saat saya dengan santainya berjalan menuju pintu keluar, hendak ke kampus, adik saya muncul dan berkata dengan gerak mulut tanpa suara; “Bukumu sudah datang…”. Ya, berbeda betul dengan grasa-grusu yang begitu anarkis yang sempat terjadi beberapa kali saat saya sayup-sayup mendengar suara motor berhenti di depan rumah yang saya pikir adalah pak pos yang datang membawa pesanan Jeda Sejenak dari penerbitnya, Leutikaprio di Jogja.
Baiklah.
Berbicara tentang jejak pena, maka Jeda Sejenak sebenarnya telah dimulai penggarapannya sejak bertahun lalu. Tulisan paling ‘tua’ saya kira adalah puisi ‘Bukan Langit yang Biru’, yang kalau tidak salah saya buat di masa SMA, dalam perjalanan pulang sekolah di atas becak. Sedangkan tulisan paling bungsu adalah esai ‘Nanti akan Ada Waktunya’ yang saya buat di bulan September tahun lalu. Kesemua tulisan itu awalnya bukan dimaksudkan untuk menjadi sebuah buku. Mereka (tulisan-tulisan itu) adalah penghuni blog yang saya buat sejak kelas dua SMA lampau. Namun, atas saran beberapa orang kawan, saya akhirnya memutuskan untuk menggarap ulang mereka, dan menjadikannya sebagai sebuah kesatuan buku berjudul Jeda Sejenak.
Buku Jeda Sejenak ini saya susun bersamaan dengan masa penyelesaian skripsi. Sebenarnya, proyek ini menjadi semacam refreshing saya ditengah carut marut skripsi dan birokrasi dalam menuntaskan masa kuliah S1. Awalnya, saya berencana ingin mengerjakannya secara fokus. Saya pikir, memilah dan memilih dari sekian banyak tulisan untuk dipilih yang (saya anggap) terbaik dan layak untuk dibukukan, kemudian mengeditnya (dan menemukan betapa banyak kesalahan menulis yang saya lakukan dimasa lalu), lalu mengelompokkannya menjadi tiga bagian besar, kemudian menyusunnya menjadi satu rangkaian yang enak dibaca, mengirim ke penerbit, merancang deskripsi cover,mencari orang-orang yang sudi untuk memberikan endorsement, dan menuntaskan administrasi, adalah sebuah pekerjaan besar yang tidak bisa saya lakukan sambil nyambi-nyambi dengan pekerjaan lain. Apalagi sambil mengerjakan penelitian dan skripsi!
Saya yang (sejujurnya) agak ogah-ogahan mengerjakan skripsi pun akhirnya membuat sebuah keputusan untuk meletakkan diri saya pada posisi terjepit. Ya, saya harus segera menerbitkan buku ini. Tapi, saya juga harus mengerjar target selesai kuliah. Makanya, saya kemudian menargetkan; baru boleh menyentuh proyek buku jika skripsi telah rampung dan sidang istbat, eh..maksudnya ujian sidang saya kelar. Hal ini (ceritanya) untuk memotivasi saya agar bisa cepat selesai kuliah dan juga cepat menyelesaikan proyek buku ini.
Namun ternyata, saya tidak bisa menunggu.
Ya, saya terus-menerus melirik proyek buku ini ditengah pantulan skripsi. Hingga kemudian saya memutuskan untuk mengeksekusi keduanya dalam waktu bersamaan. Maka jadilah, penyusunan buku ini saya jadikan refreshing ditengah tugas akademik tersebut.
Akhirnya, naskah buku saya siap sebelum naskah skripsi saya rampung untuk disidangkan. Pada hari keduapuluhsatu di bulan November, saya mengirimkan naskah Jeda Sejenak ke Leutikaprio untuk diproses.
Buku ini menjadi terbagi pada tiga bagian besar.
Di Jeda Pertama, saya menamainya dengan Derap Langkah Kesyukuran, pada bagian ini, saya membahas tentang bagaimana mensyukuri hidup. Saya percaya, dalam setiap syukur, ada kesabaran, maka semoga untai tulisan yang dibuka dengan puisi ‘Perjalanan’ dan ditutup dengan ‘Menunggu; Menjaga’ itu bisa menginspirasi kita untuk selalu memberi ruang pada diri agar bisa menggandeng syukur atas segala macam nikmat yang mungkin kadang kita anggap sepele. Betapa pengejawantahan rasa syukur itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang sangat kompleks dan sama sekali tidak sepele. Di bagian ini, secara personal saya menuliskan pula kisah tentang nostalgia di masa SD, untuk guru-guru saya, kawan-kawan saya, dan semua orang yang ada di masa menyenangkan itu. J
Di Jeda Kedua, saya memberinya judul bab Ada Cinta untuk Dakwah. Bagian ini menguraikan jejak-jejak perjalanan di jalan cahaya. Tentang kisah para Nabi, tentang kepedulian kita pada pelestina, tentang eksistensi kita sebagai khalifah. Awalnya, ada kekhawatiran sendiri untuk mengguna kata ‘dakwah’ dalam judul bab. Namun akhirnya saya sadar, bahwa masing-masing kita agaknya tidak boleh lagi mengkhususkan dakwah kepada anak pesantren atau para kiai saja. Sebab dakwah adalah tugas kita semua. Dan menyampaikan kebenaran sekecil dan sesederhana apapun itu, sesungguhnya adalah cara untuk masuk ke dalam jalan sepi tersebut. Jalan dakwah. Dan jalan dakwah tidak akan pernah berpisah dari indahnya ukhuwah. Maka pada bagian ini, saya menuliskan kenangan pada masa SMA dengan keasyikan rohis, juga masa-masa menjadi pengurus dalam sebuah forum yang kembali bersinggungan dengan dakwah sekolah. Juga tentang para akhwat yang membersamai saya di sana. J
Di Jeda Ketiga, saya menyebutnya Dalam Perjalanan Pulang. Bagian terakhir ini, mengeksplorasi issue tentang kematian, semoga bukan dengan cara yang mengerikan. Bagi saya, kematian adalah sebuah nasihat yang sangat nyata. Saya pernah melewati masa-masa dimana saya merasa sangat dekat dengan kematian, suatu waktu saya dihadapkan dengan vonis kematian saya sendiri, di kesempatan yang lain saya menyaksikan orang-orang terdekat yang pergi untuk selamanya. Itu semua, saya rasa sangat sia-sia tanpa saya bagikan dalam buku ini. Sebab mengingat mati sebenarnya akan mengingatkan kita tentang bagaimana hidup dengan lebih berarti. Suatu puisi saya buat di masa awal perkuliahan di Farmasi Unhas yang saya rasa sangat berat. Puisi berjudul ‘Suatu Saat’ itu saya persembahkan untuk teman-teman seperjuangan, Mixtura’07. Betapa sebenarnya saya saat itu sangat khawatir, takut bahwa nyawa saya akan dicabut dalam keadaan menulis laporan saking seringnya melakukan pekerjaan tersebut. Namun, akhirnya semua terlewati dengan caranya masing-masing. J
Karena tulisan-tulisan ini awalnya adalah untuk keperluan blogging, maka awalnya saya sempat tidak pede untuk membukukannya. Saya menganggap catatan ini sebagai sesuatu yang terlalu personal dan tidak layak untuk dikonsumsi publik. Namun, oleh Haniyah, saya kembali diingatkan bahwa banyak hal yang terjadi dalam hidup kita yang kadang juga dialami oleh banyak orang. Dan membagikan pengalaman pribadi tidak selalu berarti terlalu mengekspos diri. Hanya saja, di setiap cerita memang harusnya selalu ada manfaat yang bisa diambil oleh pembacanya. Maka, saya kembali bangkit.
Kekhawatiran berikutnya timbul saat saya kemudian sadar bahwa tulisan blog ini sebenarnya bisa saja dibaca oleh orang-orang dengan gratis, maka mengapa harus membuat buku berbayar untuk mengumpulkannya? Kegalauan itu kemudian saya sampaikan pada Kak Ai (Sari Yulianti) yang saya akrabi lewat blog di Multiply. Beliau juga telah lebih dulu menulis buku ‘Surga di Bawah Telapak Kaki Ayah’ yang juga diangkat dari blognya. Oleh Kak Ai saya mendapat nasihat, bahwa tidak semua orang dapat mengakses internet, maka dengan membukukannya, kita sedang mempermudah orang lain untuk memperoleh ‘nilai’ dari buku itu. Dan nilai tersebut memang agak sulit untuk dinominalkan dalam rupiah. Dan hal ini kemudian saya sadari saat saya mendapati tatap mata penuh antusias dari ibu penjaja nasi kuning di mushalla. Ia menatap buku saya dan membacanya dengan semangat. Ah.. Kak Ai memang benar.
Sejak bergabung dalam keredaksian sebuah majalah, saya seringkali dihinggapi rasa takut. Saya takut kepada orang-orang yang telah merelakan hartanya demi membeli majalah kami; saya takut ia tidak mendapatkan sesuatu yang lebih baik daripada uang yang sudah ia ‘korbankan’ itu. Rasa takut ini terang saja lebih hebat saat saya menjual buku saya sendiri. Dengan harga yang berkali lipat dari majalah tadi, saya sesungguhnya selalu khawatir bahwa nilai itu terlalu ‘mahal’ untuk tulisan-tulisan sederhana yang saya buat itu.
Namun, saya tahu. Saya hanya sedang berusaha. Saya sedang mencoba untuk meninggalkan jejak di muka bumi ini, agar kelak yang tersisa dari saya bukan hanya sekadar beberapa kata di batu nisan. Tapi begitu banyak kata yang saya sumbang lewat karya berupa buku. Saya sedang berusaha mewariskan nilai, meski mungkin sangat sedikit, meski mungkin terlihat kecil dan sepele saja, namun setidaknya saya berusaha. Dengan segala kerendahan hati, saya mempersembahkan karya ini. Bukan agar orang lain memandang saya lebih dari siapapun. Demi Allah, bukan! Aih, terlalu banyak aib saya yang Allah tutupi sehingga saya masih bisa berjalan di muka bumi dengan kepala tegap!
Karya ini adalah sebuah tugas hidup. Saya kini sedang menyerahkannya kepada kalian; para guru yang telah sudi memesan buku ini dan mengeluarkan uang untuk mendapatkannya. Kepada kalian, saya begitu berterima kasih dan berharap ada koreksi, ada teguran, kritik, dan masukan, atas tugas yang sedang saya kumpulkan. Nilailah! Dan saya bahkan sudah pernah mendapati tulisan saya dirobek di depan mata saya sendiri, maka untuk kritik yang paling pedas sekalipun; insya Allah saya siap.
Saya sering ‘disoroti’ karena dianggap terlalu sering ngalor ngidul di dunia maya. Mungkin kesannya saya terlalu eksis; dengan nama asli pula! Maka; Iya, saya sadari bahwa memang terkadang aktifitas di dunia maya begitu melenakan. Tapi, sejujurnya saya mendapatkan banyak manfaat darinya. Buku ini pun, menemukan jalannya di dunia maya. Saya pun, mendapatkan banyak kawan sehobi, bahkan bisa berakrab ria dengan penulis yang di masa lampau hanya bisa saya baca karyanya. Maka berselancar di dunia maya dengan identitas blak-blakan ini pun saya lakukan agar saya bisa istiqamah. Agar saya bisa tersorot dengan jelas, sehingga banyak yang bisa mengingatkan saat saya tidak berada pada jalur yang sebenarnya. Saat seseorang bisa menghantam kesadaran saya saya ia berujar; jangan lemah, ini bukan kamu yang saya kenal dengan tulisan-tulisan itu!
Maka sungguh, tidak ada satu pun yang saya harapkan kecuali bahwa Jeda Sejenak ini bisa membawa manfaat bagi saya dan kamu, yang sudi membacanya. Semoga menjadi amal kebaikan bagi masing-masing kita. Semoga kita peroleh hidayah dan menuju kampung akhirat dengan kesudahan yang indah. Aamiin…
Jonru
www.jonru.net
Haduh, judulnya kok kayak iklan produk apa gitu yah.. Hehehe.. Tapi saya rasa, kalimat ini cukup tepat untuk mewakili tulisan yang saya buat ini.
Ya, tanpa saya sadari, saya memang telah tumbuh bersama blog. Memang, saya telah berkomitmen (setidaknya kepada diri sendiri) untuk menjadikan blog-blog saya bukan hanya sebagai tempat curhat belaka. Saya berharap, ada kemanfaatan dari kejadian sehari-hari yang saya alami dan saya tuliskan itu, terutama untuk tulisan sejenis essai di Rumah Tafakkur. Untuk puisi di Sajak yang Berhamburan, perlakuannya agak berbeda. Puisi memang terkesan lebih 'misterius' untuk menyampaikan isi hati (ceile...). Kata-katanya yang tidak 'direct' membuat saya lebih leluasa untuk menggambarkan apa yang saya rasakan. Pembaca jadi tidak mengerti? Tidak mengapa, sebab puisi memang untuk dinikmati oleh pembacanya masing-masing. Penyairnya tidak punya 'kewajiban' untuk menjelaskan atau 'mendikte' pembaca tentang maksud dari puisinya. Ini menurut saya yaa...
Ya, saat membaca beberapa tulisan ataupun puisi yang saya simpan di blog, ingatan saya seringkali terbawa pada 'sebab dituliskannya' entry tersebut. Maka saya kemudian dapat bernostalgia dari tulisan-tulisan itu. Selain itu, saya dapat menyaksikan bagaimana tulisan saya terus berubah dan berkembang seiring dengan waktu dan intensitas menulis. Perkembangannya memang tidak begitu signifikan. Tapi setidaknya, saya tahu bahwa saya telah belajar dalam setiap prosesnya. Terutama setelah kemudian saya bergabung dalam keredaksian sebuah majalah. Dengan trade-record bahwa selama ini saya membuat tulisan dengan gaya suka-suka. Saya posting pun tidak ada yang larang, dan yang membacanya pun santai-santai saja.
Tapi, setelah menulis untuk majalah, saya dihadapkan dengan tema, outline, deadline, dan editor bahasa yang siap mencorat-coret tulisan saya. Maka, diawal-awalnya dulu, saya sempat agak kaget setelah tulisan saya diedit oleh editor. Waktu itu, file naskah langsung saya kirimkan via email dan diedit langsung pada softcopy tersebut. Setelah hasilnya dikirimkan kembali pada saya, saya SHOCK. Ya, saya kaget melihat tulisan hasil editan yang saat itu saya rasa bukan-gue-banget.
Waktu itu, saya sempat agak ngambek. Saya merasa cita rasa dan karakter tulisan saya sedang diobrak-abrik. Saya merasa tidak nyaman dengan tulisan saya sendiri, dan menjadi seperti tertumbuk-tumbuk saat membacanya. Namun, setelah menelaah dengan pikiran yang lebih logis, akhirnya saya belajar. Yah, saya menemukan bahwa salah satu efek negatif dari kegemaran saya memposting di blog adalah; saya menjadi tidak terkendali.
Ya, apalagi alhamdulillah, selama ini orang-orang hanya berkomentar positif pada apa yang saya tulis. Sehingga, saya pun merasa aman-aman saja tanpa sadar bahwa saya sebenarnya terjangkit penyakit akut saat membuat tulisan. Penyakit itu saya namakan; adiksi-pada-kalimat-panjang-tanpa-koma-atau-titik. Ya, dulu saya sering membuat tulisan dengan kalimat-kalimat panjang yang sebenarnya membuat orang ngos-ngosan saat membacanya. Namun, saya tidak sadar hingga editor menyadarkan saya. Inilah yang menyebabkan saya tertumbuk-tumbuk saat membaca tulisan hasil editing itu. Sebab, oleh editor, kalimat-kalimat panjang saya telah diselingi dengan jeda berupa koma, bahkan titik.
Menurut sepengetahuan saya, cara mengetahui apakah kalimat kita sudah cukup panjang adalah dengan mencoba membacanya dengan suara keras. Jika saat membacanya kita kecapean, maka berarti kalimatnya terlalu panjang dan perlu dijeda dengan koma atau titik tambahan.
Dan ternyata tulisan-tulisan saya dulu memang membuat orang lain bisa kehabisan nafas saat membacanya secara lantang. Bayangkan, terkadang satu paragraf hanya terdiri dari satu kalimat saja, saking panjangnya!
Maka, saat menyusun buku Jeda Sejenak pun, saya menemukan banyak hal yang sama pada tulisan-tulisan saya di masa lalu. Maka melakukan editing sendiri pada tulisan yang sudah mengendap selama kurun waktu lama, memberikan saya gambaran bahwa kita semua memang perlu terus belajar. Menertawakan tulisan-tulisan lama adalah pertanda bahwa kita telah mengalami kemajuan dalam hal teknik menulis.
Maka saya bahagia, telah menjadi blogger yang mengabadikan jejak langkah saya pada blog. Dari sana saya bercermin tentang masa lalu. Dari sana saya belajar tentang perjalanan hidup saya sendiri. Saat saya sedih, saya tahu saya pernah melewati masa-masa indah. Saat saya bahagia, saya juga sadar bahwa ada saja waktu dimana saya merasakan kepedihan. Dan untuk keduanya, saya semakian yakin pada keadilan Allah. Tumbuh bersama blog telah memantapkan saya pada firmanNya; bahwa kesulitan akan selalu dipergilirkan dengan kemudahan. Percayalah.
Menulislah!
-Mugniar – seorang ibu dari 3 anak, blogger (http://mugniarm.blogspot.com)
_Andi Nurul Rizqi_Ners di King Abdullah Medical City, Maternity and Children Hospital, Madinah, Saudi Arabia
-Hilya Al Aina, Aktivis Dakwah
-Iqbal Lathief, blogger (http://mylathief.multiply.com)
Sekumpulan tulisan perihal peristiwa-peristiwa kecil, sederhana, akrab dijumpai, yang kita tidak pernah amat peduli memaknainya. Arrifa'ah mengajak kita berdiam sejenak menjadi jiwa yang lebih besar, yang lebih peduli, yang tidak egois melihat segalanya dari kacamata sendiri. Baca dan jadilah pribadi yang berjiwa besar!
Jadi, mulailah konsisten dan disiplin dengan apapun yang ingin Anda wujudkan, apapun itu. Ngomong-ngomong soal konsisten dan disiplin, tulisan ini adalah salah satu wujud konsistensi dan disiplin saya sebagai kontributor tetap PenulisLepas.com. Konsisten untuk terus menulis di PenulisLepas.com. Disiplin dengan jadwal mengirim tulisan yang sudah saya buat. Mudah-mudahan untuk selanjutnya saya bisa lebih sering sharing banyak hal melalui tulisan-tulisan saya. Semoga!
sumber: penulislepas.com