Sabtu, 04 Februari 2012

Saya Menulis, Maka Saya Ada


Selalu lebih mudah bagi saya untuk memulai kata pertama untuk dituliskan, dibandingkan memilih kalimat pertama untuk diobrolkan, terutama dengan orang yang tidak terlalu akrab atau baru saya kenal. Di keluarga besar sendiri, saya dikenal sebagai anak yang introvert, susah diajak ngobrol, lebih banyak diam dan memperhatikan sekeliling. Bahkan dengan sepupu-sepupu yang memang jarang saya temui, sulit bagi saya untuk langsung mengakrabkan diri, atau bahkan memulai menegur duluan. Entahlah apa yang salah dari saya. Yang jelas, hal-hal di atas kemudian menimbulkan berbagai macam istilah yang dinisbatkan bagi saya; tidak gaul, kuper, pendiam, sampai dengan televisi rusak (ada gambar, tidak ada suara) >_<. Ini mungkin tidak lepas dari kebiasaan saya yang terlalu lama berpikir sebelum mengucapkan sesuatu; Apakah yang saya ucapkan tidak akan membuatnya sakit hati? Tidak nyaman? Atau tersinggung? Hingga pada akhirnya –dan sangat sering terjadi; saya tidak mengucapkan apa-apa.


Awalnya, saya sempat cukup terganggu dengan semua itu. Saya pernah down dan akhirnya bingung sendiri untuk menghadapi situasi. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, dan seiring dengan penerimaan saya atas diri saya sendiri, saya mulai mengalami resistensi (kebal) terhadap berbagai macam pengistilahan tersebut. Yah, saya tetap mencoba untuk menjadi manusia yang supel, layaknya manusia pada umumnya (hehehe…), tapi saya juga tetap tidak dapat membohongi diri, bahwa tiap orang punya blue print-nya masing-masing. Cetak biru yang telah nempel pada DNA kita, yang agaknya sulit di ubah. Maka ijinkan saya untuk mengubah paradigma, dengan menyebut kekurangan sebagai keunikan. Setuju?


Baiklah.


Saya akui saya memang agak bermasalah dengan aktivitas ngobrol dan gaul. Tapi saya merasa lebih mudah dan agak menguasai berbahasa lewat tulisan. Mungkin hal ini tidak terpisahkan dari kegilaan membaca. Kapan saja dan dimana saja. Tempat favorit saya untuk membaca adalah di atas angkot dalam perjalanan panjang menuju atau dari kampus. Mengapa di atas angkot? Nah, ini dia beberapa alasannya;


1. Memanfaatkan waktu. Bagi saya, membaca tentu lebih baik daripada saya bengong dan hanya menatap nanar pada jalan raya. Menatap sembarangan lebih berpotensi membuat kita melihat hal-hal yang tidak seharusnya dilihat. Tapi, sisi negative dari hal ini adalah, saya menjadi manusia yang buta arah. Dua puluh tahun lebih bercokol di kota Makassar, tapi juga tidak pernah benar-benar menguasai letaknya. Solusinya adalah; siapkan pula waktu untuk memperhatikan jalan. Alokasikan dengan baik kapan waktunya membaca, dan kapan waktu menghapal rute. Hehehe…


2. Bebas gangguan. Apalagi saat melakukan perjalanan sendirian, tentu akan lebih menenangkan duduk berderet dengan orang-orang yang tidak kita kenal, yang tidak mungkin memotong waktu membaca kita. Percayalah, tidak ada hal yang lebih menjengkelkan dibandingkan diganggu saat membaca!


3. Antisipasi supir Formula 1. Saat ini, makin banyak supir angkot yang hobi ngebut. Mereka mungkin tidak dapat membedakan antara manusia dengan karung beras, sehingga seenaknya saja tancap gas, padahal penumpangnya sudah terjungkal kiri-kanan. Nah, akan sangat bikin deg-degan saat harus tetap menatap jalan waktu menumpang angkot yang ngebut. Biasanya, saat angkot lagi ngebut-ngebutnya, saya menutup mata agar tidak terlalu tegang. Daripada menutup mata dan tidak mendapat apa-apa, lebih baik padangan saya arahkan ke buku, dan membaca!


NB; Jangan lupa memastikan bahwa perjalanan Anda cukup jauh untuk membaca. Khawatirnya, tempat tujuan Anda jadi terlewat karena terlalu serius membaca. Maka, perhitungkanlah! ^_^


Bagi saya, akan sangat dipertanyakan seorang muslim yang malas membaca. Bukankah ayat yang pertama kali turun adalah seruan untuk membaca? Membaca dalam hal ini tentunya adalah membaca bacaan yang bermanfaat! Sebagai hal yang tidak terpisahkan dari itu adalah aktivitas menulis. Bukankah Allah telah bersumpah demi qalam (pena). Dan bukankah hal ini menunjukkan keutamaannya? Nah, bukankah pula para ulama mencontohkan kepada kita untuk menulis? Sehingga setelah kepergian mereka dari dunia yang fana ini, kita tetap dapat merasakan keberadaan Ibnul Qayyim, Imam Bukhari, Ibnu Taimiyah, Imam Syafiie, dan ulama-ulama lain yang seolah masih terus duduk di hadapan kita untuk membagikan ilmunya? Yah, itu karena mereka menuliskannya!


Maka menulislah untuk perubahan!


Betapa banyak kejadian-kejadian sederhana di sekitar kita yang bisa menjadi luar biasa saat ia dituliskan dan diambil hikmahnya. Bahkan kehidupan kita sendiri pun sebenarnya adalah roman yang luar biasa dan mengandung banyak pelajaran saat ia dapat disusun dalam kata-kata yang apik. Menulislah untuk menunjukkan bagaimana kita berpikir. Bagaimana kita memandang sesuatu. Bagaimana kita menyikapi banyak hal. Meminjamkan ‘kacamata’ kita pada orang-orang di sekitar.


Saat ini, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana kekuatan kata-kata dapat begitu hebat menembus batas! Seiring dengan teknologi yang menyuguhkan berbagai jejaring social. Situs dimana kita mengekspresikan diri lewat tulisan. Mengabarkan kepada dunia tentang diri kita lewat kata-kata. Betapa banyak pergerakan besar-besaran yang timbul akibat info yang beredar di dunia maya. Dan betapa seringnya massa menjadi terprovokasi karena pergerakan yang dimulai dari internet!


Sayangnya, di lain pihak, terkadang banyak orang yang menjadikan jejaring sosialnya sebagai sekadar tembok ratapan. Membuang kata-kata yang mungkin dapat mematahkan semangat dan mematikan hati orang lain. Hati-hatilah, kawan! Sebab sebagaimana menunjukkan kebaikan dapat bernilai pahala, maka bisa jadi menunjukkan keburukan juga dapat berbalas dosa. Maka bijaklah kepada setiap status, notes, atau pun tweeps Anda. Percayalah, itu semua pun akan dimintai pertanggungjawaban.


Konon, menulis merupakan suatu terapi yang ampuh untuk menyalurkan segala emosi. Menulis di dunia maya –dalam bentuk blog, juga dinilai sebagai salah satu langkah nge-net sehat yang bisa memajukan bangsa! Memiliki blog adalah salah satu alat pemacu untuk terus menulis. Setidaknya, kita bisa termotivasi dengan perasaan ‘tidak tega’ melihat blog kita yang begitu-begitu saja. Maka semangat menulis akan muncul dari sana.


Saya sempat secara ekstrim, ingin mencoba-coba meniru seorang penulis (yang lumayan saya gemari) yang bersumpah pada dirinya sendiri; saya tidak akan menikah sebelum menerbitkan buku puisi! Frontal, bukan? Tapi terlepas dari itu, saya kagum dengan komitmennya untuk dapat menghasilkan karya konkret untuk menulis sebuah buku. Namun, belakangan saya pikirkan, sebenarnya bukan masalah adanya buku yang terbit atau tidak. Bukan masalah apakah cap sebagai ‘penulis’ itu ada atau tidak. Tapi, aktivitas menulis itu sendiri yang menjadi tumpuannya! Meski kemudian tulisan-tulisan ini tidak akan pernah terbukukan (tapi saya akan terus berusaha untuk dapat membukukannya, doakan yah! ^_^), dan hanya akan beradar di dunia maya (dengan segala kekejaman plagiator yang bisa muncul di mana saja), saya ingin mencoba membuat diri saya berfokus pada ketersebarannya. Apakah kemudian ide-ide (sederhana) ini hanya tersebar lewat layar-layar laptop, atau saat sama sekali tidak dinisbatkan pada saya (karena aktivitas copas tanpa ijin, misalnya), atau bahkan saat seseorang mencaplok dan mengaku-aku atasnya, maka biarlah. Biarlah Allah saja yang menjadi saksi dan mencatat segala amal kita –sekecil apapun itu. Dan jika pun ‘cap’ penulis (buku) itu tidak saya dapatkan di dunia, maka saya tetap berharap akan disimpankan bagi saya (pahalanya) di akhirat. Amien.


Maka demikianlah ilmu. Ia akan terikat jika dituliskan. Berbuah amal, berbuah pahala.


Maka demikianlah saya. Saya menulis, maka saya ada!


Untuk almamater tercinta, SMA Negeri 3 Makassar;

dan Jenius03 yang ada di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar